KEMERDEKAAN HAKIM BUTUH STANDAR

Kemerdekaan Hakim dijamin oleh Undang Undang, sebagaimana dalam penjelasan pasal 24 dan 25 Undang Undang Dasar 1945. Artinya kemerdekaan hakim disini terbebas dari campur tangan pemerintah . Namun kemerdekaan itu selama orde lama dan orde baru kurang berlaku.Sebabnya, pada orde lama, hakim merupakan alat repolusi sehingga pemerintah dapat mengintervensi hakim dalam kasus-kasus tertentu.Sedangkan masa Orde baru,sesuai dengan Undang Undang tentang pokok pokok kekuasaan kehakiman, sangat bisa diintervensi oleh karena kehakimannya diurus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, sedangkan kepegawaiannya diurus oleh pemerintah saat itu Kementerian kehakiman.
Dapat dibayangkan signifikannya campur tangan pemerintah melalui Menteri kehakiman saat itu untuk mengintervensi hakim.Sebab jikalau permintaan sesuatu dari pemerintah tidak dikabulkan maka, hakim bersangkutan dimungkinkan dipindah ke pelosok atau daerah terpencil, bahkan mungkin juga dihukum atau nonpalu.Oleh karenanya sebagai seorang manusia biasa yang memerlukan masa depan khususnya keluarga maka dengan mengorbankan idealismenya pun terkadang harus menurut manakala permintaan itu datangnya dari Menteri kehakiman.
Berdasarkan undang Undang No 35 tahun 1999, Kehakiman telah menjadi satu atap di Mahkamah Agung RI.Ketentuan menetapkan satu atap ini, tentu membawa harapan besar bagi masyarakat akan keadilan oleh karena tidak lagi mereka terpasung status kepegawaiannya di kementerian Kehakiman,tetapi sudah menjadi satu ditangan mahkamah agung RI.
Dengan terwujudnya hakim dibawah satu atap sejak undang undang tersebut sesungguhnya Mahkamah Agung Republik Indonesia sudah menunjukkan perubahan signifikan menunjukkan suatu perubahan-perubahan keadilan yang merata di seluruh Indonesia.Namun 12 tahun sudah usia undang undang itu belum terlihat perubahan yang signifikan yang dirasakan oleh masyarakat luas.Akibatnya kini masyarakat kita masih beranggapan bahwa keadilan itu hanya untuk penguasa dan pengusaha, yang belum menyentuh masyarakat kecil ditingkat pedesaan yang tak berdaya.
Pendapat diatas mungkin benar adanya, sebab seorang yang hanya mengambil sebuah pisang misalnya harus dihukum meski satu bulan.Demikian juga mengambil sebuah semangka seperti terjadi beberapa waktu lalu di Jawa Timur tetap harus dihukum. Pengambilan suatu barang tertentu yang bukan miliknya memang,masuk dalam kategori pencurian.Sedangkan ketentuan mengenai pencurian itu diancam sebagaimana dimaksud dalam pasal 362 Kitab Undang Undang Hukum Pidana yaitu hukuman 5 tahun atau denda Rp 900.
Melihat unsure-unsur dalam pasal tersebut, antara lain disebutkan bahwa mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagaian milik orang lain dan pengambilan itu untuk dimiliki.Dari unsure itu tentu pengambilan setandan pisang, atau sebuah semangka jelas terpenuhi unsurnya dalam pencurian.Namun pertanyaannya kini, apakah seorang yang mengambil sebuah semangka harus diukum penjara? Jika melihat kepada ketentuan pencurian tentu jawabannya ya. Akan tetapi jikalau dilihat dari segi keadilan sesungguhnya tidak perlu memenjarakan orang yang mengambil semangka tadi.
Alasannya hakim wajib untuk melihat terlebih dahulu, untuk apa orang itu mengambil semangka, apakah karena lapar sehingga harus mengambil dari kebun si A misalnya dan itu pun tidak lebih dari satu buah? Atau memang orang itu mengambil dengan maksud untuk dijual atau sebagai mata pencaharian? Disinilah peranan hakim untuk menggali kebenaran yang tidak melulu melihat pasal pasal dalam undang undang akan tetapi meneliti maksud dan tujuan seorang untuk mengamblinya.
PUTUSAN STANDAR KEPATUTAN
Menyikapi persoalan diatas, Mahkamah Agung Republik Indonesia,sudah selayaknya menetapkan suatu ketentuan yang menetapkan suatu keputusan hakim yang mempunyai standar kepatutan.Dan bila menimpang dari standar kepatutan itu mendapatkan sanksi tegas.Penetapan seperti ini sangat dibutuhkan mengingat ketentuan tentang kemerdekaan hakim itu tadi, yang sangat sering disalah gunakan oknum oknum dalam memutus suatu perkara tertentu. Sehingga keadilan masih jauh dari harapan.
Penetapan standar disini tentu tidak bermaksud mengebiri kemerdekaan hakim sebagaimana disyaratkan Undang Undang. Akan tetapi untuk mempertinggi nilai suatu putusan yang mengarah kepada keadilan dan kebenaran. Sebab jikalau terus menerus hanya berdasarkan nurani hakim itu sendiri, meski menimpang dari ketentuan, atau mungkin menghukum seseorang padahal tidak bersalah, atau mungkin juga menghukum seseorang hanya dengan satu alat bukti, atau mungkin juga dengan rekayasa belaka dalam berkas,maka hakim bersangkutan akan mengaku walaupun buktinya Cuma satu berdasarkan keyakinan saya baik dari sikap, rangkayan keterangan lain meyakinkan saya dia bersalah karenanya saya hukum.
Keyakinan semata menjadi alasan untuk menjatuhkan vonnis bagi seorang misalnya,merupakan masalah serius diperhatikan.Sebabnya banyak kasus kasus tertentu di beberapa Daerah, masyarakat mengamuk karena menghukum seseorang yang menurut keyakinan dan fakta yang mereka ajukan sama sekali tidak bersalah.Nah, jika hal ini tidak diperhatikan, atau diyakinkan dirinya hanya karena perasaan semata terhadap penyidik dan jaksa yang sudah mengajukan berkas ke muka sidang, yang walapun sebenarnya berkas tersebut harus dikembalikan untuk dilengkapi, maka profesionalisme penyidik dan Jaksa tidak akan tumbuh dan tak dapat diharapkan, dengan alasan dapat dikompromikan.
Oleh karenanya, untuk menghindari Hakim hanya sebagai corong undang undang, sekaligus juga mempertinggi nilai pertimbangan suatu putusan hakim yang dapat meyakinkan banyak pihak maka, Mahkamah Agung Republik Indonesia perlu mengeluarkan suatu Ketetapan standar kepatutan di dalam memutus sutua perkara sebagai bagian dari penyalah gunaan hati nuraninya di dalam memutus suatu perkara khususnya menghukum seseorang.Adagium hukum menyatakan, labih baik membebaskan 100 orang yang bersalah daripada menghukum seorang yang tidak bersalah.

Bahasa klise amat sering terdengar yakni, menegakkan hukum tidak melanggar hukum.Tetapi kenyatannya, menegakkan hukum dengan melanggar hukum yang terjadi

comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger