MAHKAMAH AGUNG TERBAWA ARUS PUBLIK?

Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai benteng terakhir peradilan sekaligus pembuat Undang Undang ini tampaknya sudah kelimpungan membina hakim hakim di Indonesia. Akibat dari situasi itu sikap Mahkamah Agung belakangan tidak lagi untuk arah pembinaan akan tetapi justru lain dari itu bahkan  hendak memecatnya. Tindakan tegas terhadap setiap orang yang bersalah memang merupakan keharusan demi kepastian dan persamaan dimuka hukum. Akan tetapi jikalau hanya karena berbeda pendapat dissenting opinion misalnya harus dihukum dengan cara memindahkannya ke daerah terpencil ,boleh jadi bukan cara terbaik untuk membina dalam menegakkan hukum. Yang paling menyedihkan kita adalah penjelasan Sarwoko Hakim agung yang juga juru bicara sekaligus Ketua muda  Mahkamah Agung  itu.
Sarwoko menyatakan bahwa  Hakim ad hoc yang backgroundnya pernah bela koruptor akan dikeluarkan semua. Adakah suatu ketentuan yang dapat memecat hakim ad hoc yang pernah membela korupsi hanya karena beda pendapat dalam musyawarah hakim saat mengambil keputusan? Wacana mengeliminasi hakim ad hoc yang pernah membela tindak pidana korupsi selain tidak mendidik berpotensi melanggar hukum. Banyak kalangan menilai sikap MA itu  menunjukkan ketidak mampuan MA melakukan pembinaan dan mengawasi hakim nakal. Tidak Cuma akan mengeluarkan hakim ad hoc yang pernah membela koruptor akan tetapi juga  wacananya  akan mengurangi Pengadilan tipikor tidak lagi berada disetiap Ibukota Provinsi akan tetapi cukup region.
Sikap  yang dipertontonkan  Mahkamah Agung Republik Indonesia  itu untuk mengurangi Pengadilan Tipikor  dan menjadikannya  regiolanisasi  sesungguhnya dapat dimaknai sebagai suatu  kegagalan Lembaga tertinggi Peradilan itu melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengadilan seluruh Indonesia. Padahal selain hakim pengawas yang ada pada tingkat Mahkamah agung  ada hakim-hakim pengawas pada tingkat Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia. Namun pengawasan yang dilakukan selama ini kurang dibarengi dengan tindakan tegas yang dapat membuat efek jera hakim nakal mengakibatkan perlakuan itu sering terjadi .Jarang memang seorang hakim dipecat karena melakukan suatu tindakan yang salah kecuali hanya hukuman ringan seperti, pindah tempat atau hakim nonpalu kecuali yang sudah dipidana.
Indenvendensi hakim belakangan memang telah terusik banyak terkait dengan berbagai komentar yang terkadang muncul tatkala hakim yang memeriksa dan memutus suatu perkara korupsi membebaskan terdakwa. Statemen yang mengarah menyalahkan Hakim yang mengadili bahkan cenderung menduga ada faktor ex itu tidak saja munculnya dari masyarakat yang kurang paham proses hukum, akan tetapi justru muncul dari pakar hukum bahkan Mahkamah Agung sendiri turut terlibat memberi komentar. Tulisan ini tidak bermaksud agar MA membela korp tetapi kewenangan yang dimilikinya misalnya dapat melakukan tindakan-tindakan terhad setiap hakim yang dinilai telah menggar hukum jika sudah melalui proses sesuai ketentuan. Karenanya sangat kurang tepat jika harus ikut nimbrung mengomentari suatu putusan hanya karena berita koran.
Demikian Komisi Yudisial, bukankah lembaga ini dibentuk untuk mengawasi hakim-hakim dari etika? Pantaskah memberikan komentar terlalu banyak yang dapat membingungkan rakyat sementara kewenangannya itu ada ditangannya? Bukankah KY seharusnya melakukan penyelidikannya dan selanjutnya mengumumkan jika ternyata ada atau tidak penyalah gunaan atau melanggar etika? Sebaiknya semua lembaga dalam bidang pengawasan hukum ini dapat berbuat lebih banyak untuk menekan angka kenakalan yang terjadi bukan menjadi komentator bak presenter TV yang hanya mebingungkan rakyat. Jika hal ini terus terjadi masyarakat akan bertanya tanya untuk apa anggaran sedemikian banyak hanya untuk memberikan statemen bukan melaksanakan pengawasannya guna memperbaiki kedepan.
Hukuman ringan bahkan pembebasan seorang terdakwa dari jeratan hukum boleh jadi karena dakwaan Jaksa yang kurang baik. Terhadap dakwaan ini seringkali kita dengar kurang dirumuskann secara tepat perbuatan terdakwa misalnya, atau bukti kerugian negara masih prematur dan lain sebagainya. Hal ini juga pernah diakui oleh Mahkamah Agung. Pertanyaannya lagi jika demikian adanya bukankah perlu mengeksaminasi putusan itu secara lengkap untuk selanjutnya dapat disimpulkan ada atau tidak suatu kesalahan? Apakah dakwaan yang disengaja banyak lobang yang memungkinkan pembela memasukinya demi kepentingan hukum terdakwa ?
Siapakah yang akan menanggung dosa jika seseorang harus dihukum ternyata menurut hukum seseorang itu benar benar tidak bersalah, faktanya memang tidak bersalah tetapi karena tekanan publik setiap tindak pidana korupsi harus dihukum berat padahal sesungguhnya sama sekali tidak ada bukti atau bukti rekayasa contohnya tidak dapat membuktikan dia bersalah . Terpengaruhkan dengan keadaan sekitar untuk menjatuhkan hukum kecuali demi tegaknya hukum dan keadilan?
HAKIM AD HOC PERLU TEGAS
Adanya hakim ad hoc sesungguhnya ditengarai banyaknya kasus kasus yang dinilai kurang adil yang diputus hakim hakim karier baik dalam tingkat pengadilan Negeri ,Pengadilan Tinggi bahkan di Mahkamah Agung sekalipun.Sama saja dengan kehadiran KPK jika  Kejaksaan, Kepolisian tegas mengusut perkara perkara korupsi dan tidak dapat diintervensi kedua Lembaga pengak hukum ini tidak kurang kuat . Seandainya seperti satu tahun belakang Kejaksaan dan Kepolisian melakukan penindakan natas tindak pidana Korupsi KPK mungkin tidak ada. Karenanya KPK bukan Lembaga permanen melainkan ad hoc yang apabila ketegasan Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan sudah dapat mendekati KPK, lembaga ad hoc ini pun sudah tidak dibutuhkan. Demikian hakim ad hoc jika tidak banyak keluhan rakyat tentang  keadilan selama ini hakim ad hoc itu pun tidak akan ada.
Kehadiran hakim ad hoc pada pengadilan tindak Pidana Korupsi belakangan boleh jadi membuat gerah hakim hakim karier. Pasalnya bukan tidak mungkin hakim ad hoc yang berlatar belakang pengacara misalnya melihat suatu kasus murni dari sisi hukumnya, sedangkan hakim karier boleh jadi pertimbangan lain disamping telah terbina sebagai birokrat selama dibawah Kementerian Kehakiman dulu . Oleh karena gerah mungkin maka hanya karena beda pendapat saja harus dihukum dengan cara memindahkannya ke tempat terpencil yang disebut tidak banyak kasus korupsinya.
Perbedaan pendapat seyogyanya tidak dijadikan kesalahan oleh karena hal itu dapat dianggap hanya mencari cari kesalahan orang. Sebab dissetting oipinion itu harus dijadikan sebagai suatu kekayaan dalam musyawarah hakim dalam mengambil suatu keputusan. Menyangkut kenakalan yang secara kebetulan belakangan dua hakim ad hoc yang berasal dari Advokat tertangkap tangan menerima suap.Tetapi harus diingat beberapa hakim seperti di Jakarta Pusat pun tertangkap tangan bahkan di Mahkamah Agung itu semuanya hakim karier. Karenannya tidak etis mengeneralisasi . Kita semua turut mengawasi secara kontruktif bukan karena dendam melainkan berperan serta menuju perbaikan sebagai negara hukum. Marilah bertindak rasio, kita tunggu selanjutnya.

comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger