PILKDA DKI PELAJARAN BERHARGA DEMOKRASI


Pemilihan Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta yang berlangsung  tanggal 20 September 2012  ada banyak hal  positif  yang dapat dipetik sebagai pelajaran disamping  hal  negatif   yang tidak perlu ditiru dan bahan evaluasi dan diperbaiki. Sisi positif yang amat sangat berharga dan patutut diiteladani ialah sikap kesatria yang ditunjukkan oleh Fauzi Bowo. Melalui perhitungan cepat  yang bersifat sementara, diumumkan perolehan suara Jokowi mengungguli perolehan suara Fauzi Bowo oleh karena perhitungan itu  telah mencapai 90 % suara, Fauzi Bowo, mengucapkan selamat kepada Jokowi, dan menyatakan kemenangan itu adalah kemenangan masyarakat Jakarta untuk membangun Ibukota itu  yang lebih baik. Selain pengakuan tulus itu ia juga mengajak semua lapisan menghormatinya sambil menunggu keputusan akhir dari KPUD.
Berjiwa besar dan  kesatria yang diperlihatkan Dr Ing Fauzi Bowo itu  suatu sikap  negarawan yang perlu dipedomani oleh semua pihak khususnya calon - calon Gubernur,Bupati dan Walikota di Indonesia, bahkan presiden sekali pun. Pengalaman selama  selama ini menunjukkan , belum pernah ada calon yang kalah seketika itu mengaku dan mengucapkan selamat kepada pemenangnya. Seringkali terjadi  peserta yang kalah malah  mencari cari kelemahan pemenangnya hingga mengajukan gugatan   ke Mahkamah Konstitusi  tanpa memikirkan waktu maupun biaya yang harus dikeluarkan. Jika ternyata signifikan memang kesalahan  dan dapat dibuktikan telah  dilakukan secara sistemik demi keadilan dan kepastian hukum maka proses itu harus didukung. Akan tetapi jika hal itu karena ketidak senangan atau mungkin mencoba coba untuk mempertinggi posisi tawar misalnya  itu yang tidak mendidik.Akhirnya para peserta jarang terjadi kerja sama membangun daerah itu.
Fauzi Bowo, dalam statemennya sangat tulus dan  iklas mengajak seluruh warga Jakarta  menerima hasil pemilihan Gubernur itu sebagai suatu kemenangan masyarakat. Ia pun menyatakan bahwa setiap pertandingann harus ada yang kalah dan ada pemenangnya. Statemen itulah sesungguhnya nilai positif yang dipertontonkan Fauzi Bowo sebagai suatu pelajaran berharga kita dalam berdemokrasi. Fauzi Bowo benar, sebab  Sebab setiap pertandingan tidak mungkin  ada dua menjadi pemenangnya tetapi harus ada pemenang dan ada yang kalah.
PELAJARAN ELIT POLITIK.
Selain sikap kesatria yang ditunjukkan , Fauzi Bowo,  ada banyak pelajaran lain  yang dapat digunakan sebagai  suatu pedoman bagi Partai Politik di dalam menetukan bakal Calon yang akan diusungnya. Selama ini pimpinan Partai dalam menetapkan  seorang yang akan diusung terkecoh oleh  popularitas seseorang tanpa mempertimbangkan  elektabilitas. Popularitas yang belakangan banyak digunakan sebagai pedoman misalnya  melalui polling , lewat  , sms ,Facebook dan lain sarana pengenalan menjadi bukti  calon yang bersangkutan dapat ditetapkan untuk diusung menjadi calon karena dianggap tinggi elektabilitasnya . Kenyataannya ? jauh dari apa yang sebelumnya dihasilkan polling atau survey.  
Kenyataan ini harus dijadikan contoh oleh elit politik Partai dalam menetapkan bakal calon yang akan diusungnya. Sebab keterkenalan seorang atau karena koalisi partai ternyata tidak dapat menjamin dapat mendulang suara yang signifikan, tetapi haruslah figur bakal calon itu yang lebih menonjol.  Fauzi Bowo ,misalnya  tidak kurang dikenal oleh masyarakat luas di Jakarta  dan mengenal  Jakarta. Sebab selain sebagai patahana, Fauzi Bowo, telah malang melintang di Pemda DKI Jakarta mulai dari Kepala biro, Kepala Dinas, Sekda ,Wakil Gubernur hingga Gubernur 2007-2012  karenanya hasil survey,atau polling pun menunjukkan ia unggul hingga terlaksananya penceblosan pada putaran pertama pemilukda DKI itu terlaksana. Kenyataannya tidak sesuai dengan hasil polling yang telah diumumkan.
Perolehan suara putaran pertama pemilukada DKI itu, Joko Widodo ,Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) unggul jauh dibanding, Fauzi Bowo, Nahrowi Ramli. Padahal  Jokowi,Ahok tidak sepopularitas Foke  di Jakartasaat itu . Dalam blogger ini penulis pernah menulis sosok Joko Widodo yang tulus dan polos merupakan harapan yang dapat melakukan perubahan di DKI Jakarta. Karenanya PDIP sebagai Partai besar sesungguhnya dapat menetukan sikap seperti Garindra. Analisa itu dibuat oleh karena PDIP saat itu masih menimang nimang dan sempat hendak koalisi dengan Partai Demokrat untuk mengusung Fauzi Bowo sebagai Gubernur dan Wakil dari PDIP. Tarik menarik menarik memang  terjadi sebab ada banyak pendapat yang menyatakan, Joko Widodo, diragukan elektabilitasnya di Jakarta karena dia kurang dikenal. Boleh jadi memang ,Joko Widodo saat itu tidak dikenal namun figurnya yang tulus, polos kurang diperhitungkan saat itu  karena polling pun menunjukkan Jokwi kurang populer.
Kini  popularitas seseorang untuk dapat memenangkan pertarungan,  termasuk koalisi partai tidak memberi jaminan. Sebab sesungguhnya polling dan atau popularitas seseorang tidak otomatis menetukan elektabilitas  seseorang itu meraih suara yang signifikan, tetapi lebih kepada figur dan programnya yang tidak retorika, dan  realistis.Selain itu juga ialah peduli terhadap rakyat yang dipertontonkan melalui kunjungan tanpa protokoler pada akar rumput. Fakta ini telah terjadi di Sumatera Utara tahun 2008. Tri Tantomo, mantan Panglima Bukit Barisan cukup dikenal dan mengenal Sumut.Demikian juga hasil polling sangat signifikan, tetapi kenyataannya, Samsul Arifin, yang saat itu menjabat Bupati Langkat dan tidak populer meraih suara signifikan membawanya menjadi Gubernur Sumatera Utara.
Dalam menghadap pemilihan Gubernur, Bupati ,atau Walikota belakangan banyak cara dilakukan bakal calon untuk meraih polling  untuk selanjutnya menjadi pertimbangan bagi partai menetukan calon yang akan diusungnya. Padahal polling-polling belakangan dengan tehnologi yang semakin canggih apalagi dapat memainkan konten-kontel telekomunikasi dapat dipastikan akan banyak orang yang tahu dan dapat menjaring jutaan suara sekejab. Padahal jutaan orang itu bukan tidak mungkin sekedar dalam dunia maya misalnya yang tidak dapat menjadi patokan menentukan elektabilitasnya. Pengalaman itulah yang seringkali terjadi seperti dua contoh diatas, Medan dan Jakarta.
Para elit politik partai , sesungguhnya  harus jeli dan tidak terkecoh hanya karena polling polling belaka tetapi harus pada figur.  Beberapa fakta dalam pemilukada belakangan pemilik polling terbesar melalui dinia maya misalnya atau mantan pejabat daerah itu tidak menjamin elektabilitas tinggi. Sebab ada banyak pandangan polling – polling itu dapat dimainkan hingga jutaan sahabat facebook misalnya. Tetapi itu hanya sekedar lelucon dalam dunia maya yang tidak menunjuk pada elektabilitas. Namun karena  elit partai kita selama ini masih memandang popularitas tidak pada fibur maka banyak kegagalan yang didapat. Oleh karenanya marilah berkaca pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta dan Medan yang terkenal itu tidak menjadi pemenang akan tetapi yang tidak terkenal karena ketulusan dan kepolosannya menjadi pemenang.Semoga ini pelajaran berharga.!

comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger