Bungaran Sitanggang SH.,MH Associates. Diberdayakan oleh Blogger.

0 PENAHANAN TERSANGKA HARUSNYA TERPAKSA

Kewenangan Penyidik untuk melakukan penahanan terhadap seseorang tersangka yang disidik karena diduga telah melakukan suatu tindak pidana seringkali dinilai masyarakat umum sebagai suatu tindakan pemaksaan yang dapat dilakukannya dengan penilayan yang subyektif bukan objek tif. Ketentuan dalam Kitab U&ndang UndangHukum Acara Pidana( KUHAP) memang  menyatakan bahwa penyidik dapat melakukan penahanan terhadap seorang tersangka yang disidiknya. Kata dapat disini tidaklah secara otomatis, tetapi penahanan itu dilakukan  jika dinilai tersangka akan melarikan diri misalnya, yang dapat mempersulit pemeriksaan, atau menghilangkan barang bukti, yang dapat mempersulit pembuktian di muka sidang, atau mengilangi  perbuatannya. Demikian tegas sesungguhnya diatur dalam KUHAP, tetapi sudah dijalankan sesuai ketentuan itu?.
Ada banyak kasus yang disidik, baik ditingkat penyidik Polri, Kejaksaan seorang tersangka yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana langsung ditahan tanpa membuktikan seorang tersangka itu misalnya belum terbukti hendak mempersulit pemeriksaan, hendak menguaalngi perbuatannya dan atau merencanakan menghilangkan barang bukti. Katakan saja, Ny asyah, nenek tua yang diduga melakukan pencurian kayu di Sidoarjo Jawa Timur. Mungkin kah sang Nenek itu hendak mengulangi perbuatannya? Atau menghilangkan barang bukti dan atau akan melarikan diri? Sehingga harus ditahan baik oleh Penyidik dan kejaksaan? Jawabannya tentu unsur –unsur itu tidak terpenuhi. Sebab selain nenek tua tersebut adalah seorang wanita yang lugu, sudah ujur dan dipastikan tidak berdaya untuk melakukan sesuatu yang dapat mempersulit pemeriksaan dan atau menghilangkan barang bukti.
Ada banyak kasus memang seharusnya tidak dapat ditahan, akan tetapi penyidik seringkali melakukan penahanan terhadap tersangka tersebut. Beda misalnya seorang Begal yang ramai saat ini, kasus pembunuhan dan perkara pidana tertangkap tangan yang membahayakan umum. Tetapi dalam kasus kasus tertentu seperti kasus pencurian dalam keluarga misalnya, dan perkara yang dialami Ny asyah sesungguhnya tidak memerlukan penahanan jikalau penyidik secara fair memberikan penilayan, tidak akan melarikan diri, karena sudah terlalu tua, misalnya, tidak akan mengulangi perbuatannya, oleh karena bukan profesinya atau bukan karena sudah beberapa kali kedapatan melakukannya dan juga tidak akan menghilangkan barang bukti, karena dia tidak mempunyai kemampuan untuk itu.
HARUS DIATUR LEBIH TEGAS
Terhadap penahanan ini memang, ketentuan perundang undangan memberikan kewenangan terhadap penyidik untuk melakukan penahanan dan tidak melakukan penahanan terhadap seorang tersangka yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Namun kewenangan yang diatur di dalam ketentuan KUHAP tersebut harusnya dipertegas misalnya melalui peraturan Jaksa Agung, Kapolri atau Keputusan Mahkamah Agung sehingga tidak ditafsirkan lain daripada yang sesungguhnya Ambil contoh  Perma Mahkamah Agung RI No 2 tahun 2012 diterbitkan MA sebagai jawaban atas kasus yang diributkan saat itu yaitu kasus, Ny Minah,  yang diduga mencuri  tiga kakao di Jawa Timur  dan seorang anak yang diduga mencuri sandal di palu. Pasal 363 KUHP tentang pencurian memang diancam dengan hukum 5 tahun pencara yang juka menggunakan kekerasan dihukumlebih tinggi lagi. Penahanan terhadap tersangka sekali lagi kata dapat dilakukan jika ancaman hukum diatas lima thau. Ketentuann itu digunakan penyidik.
Oleh karena penahan itu berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku maka, penyidik yang melakukan penahan itu benar tidak salah. Apa yang salah dalam penahan itu, ialah rasa keadilan mamsyarakat. Karena itu, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 2 tahun 201  menyatakan pidana ringan dengan kerugian dibawah Rp 2,5 juta tidaka perlu ditahan. Perma ini baik karena memberikan perlindungan, tapi sayang oleh karena dalam perma tersebut tidak tegas mengaturnya hanya bentuk himbawan  bukan tidak mungkin  penyidik akan mengatakan  peratuan Mahakamh Agung itu berlaku bagi kehakiman tidak secara otomatis berlaku bagi penyidik.
Jika ternyata penyidik memberikan suatu penilayan seperti diatas boleh jadi dia benar adanya. Sebab seandainya pun Perma secara tegas misalnya menyatakan tidak dapat ditahan, bukan tidak mungkin penyidik akan mengatakan bahwa ketentuan itu berlaku bagi lingkungan peradilan atau Kehakiman tetapi tidak berlaku bagi penyidik. Nah jika suat peraturan MA itu tidak secara ategas ketentuan mengatur maka tidak mungkin dapat diberlakukan  secara umum.  Bukankah Mah Kamah Agung selaku peradilan tertinggi wajib membentuk dan menemukan hukum jika didalam suatu ketentuan belum cukup mengaturnya? Bukankah juga MA mempunyai kewajiban memberikan kepastian hukum dan keadilan untuk menjamin hak hak seorang ? tentu jawabanya ya, bukan hanya MA tetapi semua hakim ditingkat pengadilan negeri, Tinggi wajib memberikan keadilan kepada setiap orang yang dihadapkan kepadanya berdasarkan hukum.
KUHAP KARYA AGUNG BANGSA
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diakui sebagai satu satunya karya bangsa Republik Indonesia dalam ketentuan yang mengatur  beracara dalam  pidana. Sebagai karya agung bangsa, Kuhap ini sesungguhnya harus diturut dan di taati oleh semua penegak hukum khususnya para penyidik. Sebab dalam KUHAP ini telah menegaskan dan, jelas apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan. Artinya, dalam ketentuan itu telah mengatur batas batas yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan oleh penyidik manapun di Republik ini. Karenanya, siapapun harusnya tunduk dan taat terhadap ketentuan yang telah membatasinya. Namun oleh karena dalam ketentuan itu  tidak adas sanksi bagi pelanggarnya maka, penilayan secara subyektifitasnya menjadi terpenting tidak peduli aturan yang membatasinya.
Sebut saja misalnya pasal 72 KUHAP, dalam ketentuan ini  menyatakan, bahwa seorang tersangka yang disidik oleh penyidik wajib mendapatkan satu turunan hasil Berita Acara Pemeriksaan terhadap dirinya untuk persiapan pembelaannya. Tetapi leluasakah seorang tersangka mendapatkan turunan ini?  Jawabannya tidak. Sebab  meski telah berulangkali diminta tersangka atau kuasanya misalnya, seringkali penyidik tidak memberikannya, dengan suatu alasan rahasia negara. Memang tidak semua penyidik melakukan itu banyak penyidik lain yang sadar dan menjujung tinggi hak asasi manusia,yang memperhatikan hak hak seorang tersangka itu. Mereka yang sadar dan menghormati ketuan ini, meski tersangkanya tidak meminta, penyidik yang sadar ini memberikanya sendiri.
Kembali soal penahanan yang banyak menilai seorang tersangka diluar Tipikor yang sangat subyektif sebagaimana disebutkan diatas, karenanya dalam pembahasan RUU tentang KUHP dan KUHAP yang kini masuk dalam prolegnas  Dewan Perwakilan Rakyat haruslah  benar benar memperhatikan secara tegas ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban termasuk sanksi yang tegas baik terhadap penyidik maupun tersangka, yang melakukan pelanggaran itu. Jika ketentuan itu disusun secara tegas dan sanksi yang tegas pula maka , harapan masa depan penegakan hukum khususnya penahanan tidak dijadikan alat pengekangan misalnya atau alat politik bahkan akan dapat meminimais tindakan pelanggaran hukum lainnya. Dengan demikian maka penahan seorang tersangka yang diduga melakukan suatu tindak pidana, adalah terpaksa karena berdasarkan bukti bukti nyata melakukan suatu pelanggaran yang disyaratkan dalam ketentuan perundang undangan tetapi bukan tujuan. Itulah harapan masyarakat terhadap aparat penegak hukum berdasarkan  keadilan.


Read more

0 DUA PARTAI PESERTA PEMILU DIGEMBOSI ?


Dua Partai mapan dan terlama, Partai Golkar yang sebelumnya bernama Sekretariat Bersama dan Partai Persatuan Pembangunan memiliki dua kubu kepemimpinan. P3 hasil Muktamar Surabaya dan hasil Muktamar Jakarta sama sama mengaku pengurus yang sah. Demikian juga Golkar, hasil Munas Bali dan hasil Munas Jakarta masing masing juga mengaku pengurus yang sah. Kepengurusan P3 hasil Muktamar Surabaya disahkan Menteri hukum dan Ham sebagai pengurus yang sah, dan Munas Golkar di Ancol juga disahkan sebagai pengurus yang sah.
Pengesahan pengurus hasil Munas dan Mktamar yang diprotes itu dinilai sarat dengan kepentingan politik pemerintah. Alasannya selain Kemenhuk Ham tidak konsisten terhadap ketentuan perundang undangan tentang Partai Politik, Kementerian Hukum dan Ham ini juga dinilai memainkan standar ganda dalam mengambil kebijakan. P3 misalnya , menyatakan bahwa Menteri Hukum dan Ham yang menerbitkan surat Keputusan tentang susunan dan personalia hasil Muktamar Surabaya, tidak mempedulikan hasil Mahkamah Partai yang menyatakan kedua hasil Muktamar itu tidak sah. Tetapi dengan pertimbangannya sendiri mengesahkan hasil Muktamar Surabaya. Kini masalahnya pada tingkat Banding karena PTUN menyatakan Keputusan Menteri Hukam tersebut tidak sah.
Kesahan terhadap P3  itu diulangi lagi kepada Golkar. Pengurus Golkar hasil Munas Jakarta dinyatakan sebagai yang sah. Alasannya adalah sesuai hasil keputusan Mahkamah Partai sebagai dasarnya. Mahkamah Partai menurut persi Munas Bali, tidak memberikan suatu putusan terhadap dua kubu di Partai Golkar baik hasil Munas Bali maupun hasil Munas Jakarta. Boleh jadi memang tidak ada suatu keputusan Mahkamah Partai Golkar yang sah. Pasalnya,  empat orang hakim Mahkamah Partai tersebut sama imbang sehingga tidak dapat suara lebih dari 50 % misalnya. Kedua kubu sama sama mengakui bahwa dalam pertimbangan putusan Mahkamah Partai yang disidangkan empat anggotanya itu menyatakan bahwa baik Munas Jakarta maupun Bali salah satu diantarnya tidak dapat dinyatakan sebagai yang sah. Akan tetapi terdapat suatu amar dari dua anggota hakim Mahkamah menyatakan Munas Ancol sah.
Amar tersebut oleh Kementerian Hukum dan Ham dianggap sebagai suatu putusan yang sah, dan karenanya ia pun menerbitkan surat yang ditujukan kepada Partai Golkar menyusun kelengkapan kepengurusan untuk selanjutnya didaftarkan. Selanjutnya, Kementerian hukum dan Ham menerbitkan pendaftaran kepengurusan Munas Ancol sebagai Pengurus sah Partai Golkar periode 2015-2016.
Dua keputusan yang mensahkan kubu pendukung Pemerintah itu pun menuai protes keras. Tidak saja dianggap sebagai begal politik tetapi juga dinilai sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa, Karenanya, proses hukum pun berlangsung baik dalam Perdata maupun Tata Usaha Negara.Khusus Golkar, dugaan tindak pidananya pun telah di laporkan ke Mabes polri dan kini dalam pengusutan Bareskrim Mabes Polri. Sementara prses hukum sedang berlangsung, kubu Agung Laksono mendesak hendak merombak susunan kelengkapan DPR dari fraksi Partai Golkar. Keputusan Agung Laksono Ketua Umum hasil Munas Ancol untuk merombak ketua Fraksi Partai Golkar ada juga benarnya jika ditinjau dari sisi Keputusan Kementerian Hukum dan Ham tersebut. Sebab keputusan itu adalah sah dan dapat dilaksanakan kecuali keputusan hukum menyatakan lain. Nah inilah yang menarik untuk dikaji, siapakah yang bermain dan memainkan siapa.
Partai peserta pemilu merupakan asset negara. Oleh karenanya, pemerintah wajib untuk membina partai partai tersebut sebagai suatu lembaga kaderisasi calon pemimpin bangsa masa depan. Menteri Hukum dan Ham yang menerbitkan keputusan terhadap pengesahan Munas Ancol pimpinan Agung Laksono, boleh jadi benar menurut penafsirannya berdasarkan putusan Mahkamah Partai Golkar itu sendiri. Meski pun sesungguhnya keputusan itu berimbang tidak ada yang lebih kuat suaranya, tetapi Kementerian Hukum dan Ham menafsirkannya bahwa keputusan itu final. Namun disayangkan memang, Undang Undang tenatng Partai Politik memberikan ruang bagi pihak pihak yang tidak puas terhadap putusan Mahkamah untuk mengajukan Kasasi dengan waktu yang dibatasi. Artinya masih ada ruang untuk mengujinya guna mendapatkan suatu kepastian hukum sesuai ketentuan yang berlaku.
Berbeda dengan P3, Kementerian Hukum dan Ham menurut persi Muktamar Jakarta tidak mempertimbangkan keputusan Mahkamah Partai. Itulah sebabnya dinilai, Kementerian Hukum dan Ham membuat standar ganda dalam menyeleswaikan masalah di dua Partai ini. Bukankah seharusnya Menteri hukum dan Ham menunggu proses hukum dari Pengadilan untuk selanjutnya mengambil keputusan? Bukankah juga Kubu Abu Rizal Bakri telah mendatangani dan memberikan surat kepada Kementerian Hukum dan Ham tentang tidak sahnya Munas Ancol karena tidak didukung Ketua ketua DPD I dan II dibandingkan Munas Bali seluruh Ketua DPD dan II hadir dalam Munas? Senadainya benar berdasarkan penafsiran hasil putusan Mahkamah Partai menjadi dasar Kemen Huk Ham, pertnayaannya, bukan Kementerian hukum dan telah mengetahui adanya perkara di Pengadilan? Bukankah juga masih ada hak yang tidak dapat menerima putusan tersebut untuk mengajukan Kasasi ? itu beberapa pertanyaan yang belum terjawab, sehingga memunculkan persepsi publik Kementerian Hukum dan Ham tidak secara hati hati menerbitkan keputusannya sehingga diduga sebagai keberpihakan untuk kepentingan politik pemerintah.
Persepsi masyarakat itu boleh jadi benar. Sebab, secara kebetulan memang, P3 hasil Mukatamar Surabaya mendukung Koalisi Indonesia Hebat , demikian juga  Golkar Hasil Munas Jakarta mendukung Partai Koalisi Indonesia Hebat.

Pada pemerintaha Orde Baru sering terdengar memang, partai yang berseberangan dengan pemerintah secara sengaja digembosi, apakah melalui suatu kasus tertentu atau penyusupan sehingga terjadi bentrok kepengurusan atau keputusan. Kini apakah hal itu dilakoni Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia ? belum tentu memang, kecuali mungkin hanya masalah penafsiran saja baik terhadap ketentuan perundang undangan maupun keputusan Mahkamah Partai. Apapun alasannya kini perbicangan bahwa Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan dinilai di gembosi ?  
Read more

0 SETIAP TERPIDANA WAJIB MENDAPATKAN HAK REMISI


Warga binaan adalah mereka yang dihukum berdasarkan keputusan hukum berkekuatan tetap. Apapun kasusnya, baik pelaku makar terhadap negara, pembunuhan, teroris ,narkoba dan pelaku tindak pidana korupsi semuanya warga binaan dalam Lembaga Pemasyarakatan. Karenanya perubahan penjara jaman dahulu kepada Lembaga pemasyarakatan berimplikasi kepada pembinaan mental, ahlak kejiwaan untuk selanjutnya dapat berubah menjadi warga yang baik, benar dan berguna bagi masyarakat bangsa dan negara. Sejalan dengan itu, petugas Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia melakukan pembinaan itu secara baik, kontinyu, baik dengan cara menghadirkan tokoh agama, bimbingan doa ,serta pendidikan lainnya seperti  ketrampilan dan seterusnya dilakukan guna menjadikan narapidana itu sebagai manusia yang baik yang tidak mungkin lagi mengulangi perbuatannya dikemudian hari.
Sejalan dengan maksud pembinaannya itu, pemerintah menerbitkan suatu ketentuan yang mengaturnya. Namun perkembangangannya belakangan menjadi lain, yaitu pembinaan terhadap pelaku Teroris,Narkoba dan Korupsi dibatasi melalui  Peraturan Pemerintah No 99 tahun 2012 tentang syarat dan tata cara hak warga binaan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan pelaku tindak pidana, terorisme,Narkoba dan Korupsi dapat diberikan remisi dan pembebasan bersyarat jika mau menjadi, justice colaborator, artinya mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap perkara tersebut.
Kerja sama yang dimaksud ini sesungguhnya dapat diartikan baik, tetapi juga bisa berakibat tidak baik jika pelaksanaannya tidak hati hati. Pasalnya, bukan tidak mungkin seseorang tersangka misalnya mengait –ngaitkan seseorang hanya karena pernah bersama, turut dalam pertemuan padhal tidak mengetahui apa yang dibicarakan dan lain sebagainya, terseret hanya untuk mendapatkan keringanan hukuman dan remisinya kelak termasuk pembebasan bersyarat jika dipandang ia berkelakukan baik selama di Lembaga Pemasyarakatan.
Pertanyaannya sekarang, apakah adil menurut hukum membedakan tiga jenis pidana itu terhadap warga binaan lainnya? Bukankah menyeret orang lain yang memang nyata tidak terlibat dalam suatu tindak pidana misalnya hanya karena ingin mendapatkan perlakuan khusus menarik pihak lain dianggap sebagai Justice Colaborator sehingga mendapat pengurangan hukuman bahkan remisi dan kemudian pembebasan bersyarat?
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merencanakan pengaturan remisi ini secara adil kepada semua warga binaan, namun mendapat tantangan dari penggerak anti korupsi termasuk KPK sendiri. Banyak diantara mereka menilai, rencana pengaturan itu sebgai suatu obral remisi. Berbagai pendapat sah sah saja dilontarkan siapapun juga, tetapi pertanyaannya sekarang, bukankah pandangan itu sudah terlalu jauh mencampuri urusan pihak lain? Apakah dengan tidak memberikan remisi terhadap tiga tindak pidana itu diyakini mampu membuat efek jera? Jawabannya tentu belum tentu benar. Sebab sekalipun seorang pelaku tindak pidana Narkoba misalnya telah dihukum mati bahkan telah pula dieksekusi, apakah berkurang pelaku tindak pidana terhadap perkara ini? Jawabannya juga tidak lah benar, terbukti semakin gencar juga baik melalui Lapas, diluar lapas , termasuk tindak pidana korupsi semakin ramapai disemua sektor.
Dari kenyataan seperti diatas, tidak saja dalam bentuk pemberian remisi yang merupakan hak seorang terpidana, tetapi dengan menghukum mati sekalipun tidak cukup signifikan membuat jera terhadap tindak pidana ,Korupsi,Narkoba dan Terorisme ini. Kita harus berpikir jernih memperlakukan mereka sesuai ketentuan tentang hak asasi Manusia. Seorang terpidana misalnya apapun bentuk kasusnya, harus mendpatkan haknya sebagai warga binaan, untuk dia sadari bahwa dia diperlakukan secara manusiawi dan memberikan haknya itu sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan demikian maka diharapkan yang bersangkutan sadar bahwa  negara turut memikirkannya jika ternyata benar benar ia berlaku baik sesuai hasil pantauan Petugas lapas selama yang bersangkutan menjalani hukumannya.
Penilaian berkaluan baik ini memang banyak dikeluhkan keluarga binaan. Beberapa pemberitaan maupun dalam berbagai diskusi yang dilakukan terungkap bahwa meski berkelakuan baik sesuai fakta sehari hari, namun jika tidak ada pulus warga binaan yang beritikad baik itu tidak akan mendapatkan remisi. Bahkan untuk bebas bersyarat pulusnya dikabarkan semakin besar karena ia akan menghirup udara segar. Tetapi sebaliknya, dalam pengertian baik sesusungguhnya tidak dapat diberikan kepada seseorang binaan, tetapi oleh karena pulusnya lumayan banyak maka, diberikan surat penilayan luar biasa baiknya. Akibat dari situasi ini bukan tidak mungkin warga binaan lain pun apatis karena tidak akan mendapat remisi itu karena tidak mempunyai bayak uang misalnya.
Nah, dari kenyataan diatas sesungguhnya kita harus berpikir  jernih benar, bahwa setiap warga binaan mempunyai hak yang sama dengan warga binaan lainnya tanpa membeda bedakannya. Terbukti dengan pembedaan itu mereka semakin tidak ada harapan sebagai warga binaan, akibatnya bukan tidak mungkin mereka berpikir tidak perlu berlaku baik, bahkan memberikan pencerahan baik terhadap warga binaan lainnya. Boleh jadi seperti istilah mantan mantan narapidana yang menyatakan, bahwa Tahanan, atau Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat kuliah bagi mereka untuk jauh lebih canggih melakukan suatu tindak pidanan kelak. Istilah ini sangat sering kita dengar, boleh jadi benar memang, terbukti beberapa kasus tertentu misalnya, ia masuk karena terbawa atau ikut ikutan, selanjutnya setelah menjalani hukuman ia bukannya baik tapi semakin jahat bahkan pengetahuannya pun semakin tinggi setelah bergabung dengan teman lainnya selama di Lapas.

Lalu bagaimana agar warga binaan ini dapat berubah menjadi manusia yang baik setelah menjalani hukumannya? Tentu banyak hal yang dapat dilakukan. Misalnya saja, setiap warga binaan apapun bentuk kasusnya, hak haknya sebagai warga haruslah diperhatikan. Kedua, memberikan penilayan terhadap warga binaan dilakukan oleh tim tertentu dengan mikanisme kerja penyelidikan, wawancara, yang tentu terakhir meminta laporan harian dari petugas lapas. Jika hanya bekal laporan Lapas maka dikhawatirkan penilayan karena pendekatan tertentu bukan tidak mungkin terjadi, akibatnya yaitu tadi warga binaan lainnya pun menjadi apatis. 
Read more

0 TEGAKKAN HUKUM TANPA MELANGGAR HUKUM

Penundaan proses hukum terhadap unsur pimpinan KPK nonaktip, Bambang Widjojanto  Abraham Samad termasuk dua wakil yang menjadi terlapor dan 21 penyidik KPK dinilai sebagai suatu tindakan melanggar hukum. Sebab ketentuan hukum Indonesia mengatur seorang yang diduga melakukan tindak pidana dan telah dijadikan tersangka wajib segera diperiksa, diadili untuk mendapatkan kepastian hukum atas dirinya . Karenanya penundaan proses hukum atas 4 orang unsur Pimpinan KPK dan 21 penyidik  yang diumumkan Wakapolri tersebut menimbulkan persoalan baru, bahkan memunculkan persepsi negatif bagi kepolisian .
 Polri selaku penyidik tunggal tindak pidana umum, yang juga berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana lainnya itu menurut hukum , wajib mengusut setiap kasus yang ditanganinya  hingga tuntas . Bilamana dari hasil penyidikannya  ternyata telah memenuhi  unsur-unsur berdasarkan bukti bukti yang sah selanjutnya penyidik menyerahkan berkas perkara itu kepada Kejaksaan untuk selanjutnya didakwa di muka sidang pengadilan. Namun sebaliknya jika ternyata dari hasil penyidikan tidak cukup bukti, atau perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka sesuai ketentuan hukum, penyidik harus menghentikannya dengan menerbitkan Surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) Dengan demikian maka tercipta kepastian hukum yang sesungguhnya tidak malah menggantung.
Penundaan proses hukum terhadap dua unsur Pimpinan KPK noaktif yang dimumkan Waka Polri, Komjen Pol Badrodin Haiti, dapat menimbulkan persepsi negatif bagi Polri sendiri. Selain itu juga berbagai pertanyaan pun muncul, apakah Polri hanya ingin memberhentikan, Bambang Widjojanto dan Abaraham Samad dari pimpinan KPK ? apakah benar perkara kedua unsur pimpinan KPK nonaktip itu ternyata kurang layak diajukan ke muka sidang? Itulah diantaranya pertanyaan yang muncul dikalangan masyarakat, yang persepsi selama ini dikatakan kriminalisasi oleh Polri. Boleh jadi kata kata kriminalisasi kurang dimengerti, misalnya, tidak perkara tetapi diada adakan itu jelas kriminalisasi. Nah, terhadap perkara yang sedang disidik ini, jelas bukan kriminalisasi karena ada saksi korban yang melaporkan peristiwa tersebut, dan ternyata hasil penyelidikan ditemukan fakta fakta hukum sehingga ditingkatkan statusnya menjadi tersangka.
Waka Polri memang neyatakan hanya menunda tidak berarti menutu perkaranya. Penundaan dimaksud bisa satu bulan atau dua bulan, namun pertnyaannya sekarang untup apa menunda nunda perkara, bukankah hukum menetapkan proses cepat dengan biaya ringan? Bukankah juga kewajiban penyidik selaku penegak hukum untuk melanjutkan perkara itu untuk mendapatkan keputusan? Jika hanya berdasarkan tanggapan sebagian kalangan masyarakat yang memintanya sehingga terjadi kesepakatan misalnya, antara Wakapolri, Jaksa Agung dan Pimpinan KPK menunda dengan pertimbangan pendapat masyarakat, pertnayaannya, bukankan seharusnya pada awalnya demikian kuat dan kencangnya protes dari masyarakat luas? Kenapa bukan pada saat itu dinyatakan untuk ditunda. Itulah juga berbagai pertanyaan yang muncul.
Perkara ,Cicak- Buaya , saat itu sedemikian tingginya tekanan politik masyarakat luas yang menyatakan kriminalisasi. Sedemikian kencangnya protes dari berbagai kalanmgan rakyat Indonesia, Bareskrim Polri saat itu tetap melakukan proses hukum hingga melimpahkannya ke Kejaksaan Agung. Jaksa Agung saat itu menggunakan kewenangannya sesuai ketneutan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu menghentikan penuntutan demi kepentingan umum. Meski deponering terhadap kasus itu banyak ditentang , tetapi keputusan itu sah menurut hukum positif oleh karena telah diatur dan ditentukan dalam ketentuan hukum untuk keadilan. Pertanyaannya sekarang bagaimana dengan perkara, Bambang dan Samad, bukankah tidak sebaiknya dilanjutkan proses hingga mendapatkan kepastian? Dapatkah kita lakukan kebijakan diatas ketentuan hukum? Demi hukum dan keadilan serta menjaga citra kepolisian sebagai penegak hukum, proses perkara kedua unsusr pimpinan nonaktif , Bambang dan Samad segera dapat dilimpahkan kepada Kejaksaan untuk selanjutnya diperiksa dan diadili dimuka hukum. Dengan demikian terdapat kepastian hukum baik bagi tersangka maupun penegakan hukum itu sendiri.
Mengenai dua pimpinan KPK yang masih dalam penyelidikan pun semestinya tidak serta merta dinyatakan dihentikan . Penghentian terhadap penyelidikan kedua kasus itu mestinya dilakukan setelah mendapatkan kesimpulan dari penyidik Bareskrim Polri apakah dapat dilanjutkan atau tidak tentu berdasarkan bukti bukti. Jika ternyata tidak cukup bukti, yaitu tadi, dihentikan demi hukum, tetpai tidak kebijaksanaan yang terkesan melanggar hukum.




Read more

0 KASUS BG DISERAHKAN KE JAKSA AGUNG STAF KPK PROTES

Tiga PLT Komisioner Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan ,Taufiqqurahman Ruki,bersama dua orang Komisioner lainnya yang berstatus terlapor di Mabes Polri, sepakat menyerahkan penanganan kasus Komjen Pol BG ke Kejaksaan Agung RI. Jaksa Agung yang akan menerima berkas itu pun menyatakan siap untuk selanjutnya diserahkan kepada Bareskrim Polri. Keinginannya itu karena sebelumnya Bareskrim Polri telah pernah menangani perkara tersebut. Penyerahan penanganan perkara itu ke Jaksa Agung menuai protes dari Staf KPK. Demonstrasi yang digelar Staf KPK tersebut dihadiri, Taufiqqurahman Ruki sebagai PLT Ketua KPK pengganti  Abaraham Samad yang diberhentikan sementara karena telah menjadi tersangkan dugaan pemalsuan dokumen.
Dalam orasi yang disampaikan Staf KPK tersebut antara lain menyatakan,penyerahan penangnan kasus itu ke Jaksa Agung menimbulkan ketidak adilan bahkan mengorbankan idealisme anti rasuah itu memberantas korupsi. Untuk itu, pegawai KPK tersebut pun menuntut Pimpinan KPK untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan BG.
Putusan Praperadilan memang merupakan putusan pertama dan terakhir, artinya final yang tidak memberikan ruang untuk Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Demikian juga Peninjauan Kembali atas putusan yang berkekuatan hukum tetap itu, menurut ketentuan hukum yang diperkenankan mengajukan PK adalah keluarga atau ahli warisnya atau Jaksa Agung untuk kepentingan hukum. Karenanya, pendapat tentang boleh atau tidak KPK mengajukan Peninjauan kembali atas putusan Praperadilan ini menjadi perdebatan  dikalangan masyarakat dan pakar pakar hukum masing masing mempertahankan pendapatnya sendiri sendiri tidak peduli terhadap berbagai keberatan yang muncul dikalangan masyarakat luas atas putusan tersebut.
Pelaksana Tugas Ketua KPK, Ruki, yang mengahdiri Demonstrasi Pegawainya itu pun turut membubuhkan tandatangan diatas Spanduk Putih yang digelar Stafnya tersebut. Ruki, mengaku kalah. Pengakuan kalah yang dimaksud, meski dinyatakan akan fokus kepada perkara yang tertunggak di KPK yang memerlukan penanganan secepatnya, kekalahan dimaksud menarik untuk dikaji. Apakah karena putusan praperadilan yang menyatakan  penetapan tersangka atas diri BG KPK tidak sah, karena bukan merupakan  wewenangnya? Atau hendak menyelamatkan Wakil Ketua KPK, Zulkarnai , yang menjadi terlapor dugaan menerima suap untuk menghentikan penyidikan kasus Korupsi dana hibah program penangan sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) di Jawa Timur tahun 2008, dan Adnan Pandu Praja terlapor dugaan pemalsuan surat Notaris dan penghilangan saham PT Desy Timber? Termasuk 21 Penyidik KPK yang akan disidik Bareskrim dugaan tindak pidana kepemilikan senjata api  illegal ? tidak jelas.
KOMPROMI POLITIK ?
Wakil Kepala Polri, Komjen Pol Badrodin Haiti, yang juga pelaksana harian Kapolri mengatakan, pengusutan terhadap perkara yang melibatkan, dua wakil ketua KPK,Zulkarnai, dan Adnan Pandu Praja ditunda. Penundaan itu diputuskan setelah adanya koordinasi antar penegak hukum. Hasil koordinasi antar lembaga penegak hukum itu juga menjadi faktor yang membuat KPK melimpahkan pengusutan Kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Kejaksaan selanjutnya berencana melimpahkan kasus itu ke Kepolisian (Kompas 3/3)
Koordinasi antar lembaga penegak hukum ini boleh jadi kompromi politik antar lembaga penegak hukum tersebut. Bukankah dalam perundang undangan memberikan ruang bagi Jaksa Agung untuk menghentikan penuntutan demi kepentingan umum? Meski tidak diatur  dalam ketentuan perundang undangan, bukan kah pemerintah bertanggung jawab terhadap kenyamanan dan keamanan di negeri ini ? bukankah pula pejabat tinggi negara wajib menciptakan kedamaian di dalam masyarakat ? itulah mungkin salah satu alasan dalam koordinasi penegak hukum menyepakati pelimpahan kasus BG ke Jaksa Agung dan demi kelangsungan KPK Polri setuju untuk menunda pengusutan dua wakil KPK yang sudah menjadi terlapor di Mabes Polri.
Boleh jadi memang, tanpa suatu kesepakatan antar penegak hukum di dalam meredam gejolak yang muncul belakangan masing masing pihak harus menjalankan tugasnya sesuai perintah undang undang. Sebut saja misalnya, Bareskrim Polri yang telah menerima laporan pengaduan dari masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana, dia  wajib melaksanakan pengusutan demi kepastian hukum. Karenanya, penetapan tersangka, terhadap, Bambang Widjojanto, Abraham Samad setelah penyelidikan, penyidikan didapat bukti kuat perkara tersebut dapat ditingkatkan sehingga menetapkannya sebagai tersangka. Begitu pun terhadap terlapor dua pimpinan KPK lainnya yang sedang dalam tahap penyelidikan termasuk 21 Penyidik KPK yang diduga memiliki senjata api illegal tersebut tetap akan dilanjutkan demi hukum sesuai kewenangannya.
Koordinasi penegak hukum yang menghasilkan penundaan proses hukum terhadap dua wakil Ketua KPK dan 21 Penyidik KPK dan penyerahan  kasus BG kepada Jaksa Agung untuk selanjutnya Kejaksaan Agung menyidiknya dapat dianggap sebagai suatu jalan keluar terbaik. Pasalnya, Bareskrim Polri yang mengusut 21 anggota Penyidik KPK dan dua Wakil akan terus berlangsung sesuai kewenangan dan kewajiban Polri. Dapat dibayangkan jika hal itu dilantukan sementara ini maka KPK benar benar lumpuh . Nah oleh karena masing masing penegak hukum ingin memperkuat KPK, Polri dan Jaksa Agung sebagai penegak hukum di negeri ini maka ketiganya sepakat penanganan kasus dua wakil Ketua KPK dan 21 Penyidik KPK ditunda sementara, sedangkan perkara BG diserahkan ke Kejaksaan Agung RI.
Adakah yang salah dalam kesepakatan ini? Jawabannya tidak. Sebab jika penanganan kasus BG tetap dilanjutkan di KPK, bukan tidak mungkin penyidik KPK  dalam melakukan penyidikan lanjutan kurang netral mengingat kasus yang terjadi antar KPK  Vs Polri. Demikian juga Polri, jika melanjutkan penyidikan terhadap 21 penyidik KPK dan dua wakil Ketuanya, bukan tidak mungkin KPK runtuh. Jika hal itu terjadi kegaduhan politik maupun hukum semakin menjadi mengakibatkan masyarakat semakin terpuruk. Karena itu, marilah memberikan kesempatan kepada penegak hukum menjalankan tugasnya demi tegaknya hukum, tidak lagi berpikiran sempit yang menyatakan, kriminalisasi. Sebab sebagaimana disinggung diatas, Polisi yang menerima laporan pengaduan wajib melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan perundang undangan yang berlaku.

Bagaimana selanjutnya proses perkara BG ditangan Jaksa Agung, apakah benar akan dilimpahkan ke Bareskrim Polri atau mengusutnya sendiri sesuai ketentuan hukum demi kepastian dan keadilan ? kita tunggu saja Jaksa Agung RI.
Read more

0 AHOK VS DPRD SIAPA MALING TERIAK MALING?


Perseteruan Gubernur DKI , Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dengan DPRD DKI kini semakin meruncing . Pasalnya, Ahok melaporkan dugaan tindak pidana dalam penyusunan RAPBD menilai telah dimasukkan dana dana yangbtidak diketahuinya. Karenanya ia menganggap dana itu sebagai dana siluman. Sementara DPRD merasa telah dibohongi Ahok, oleh karena RAPBD yang dibahas bersama dan disetujui tersebut tidak dikirim ke Kementerian Dalam Negeri, tetapi yang dikirim adalah bahan ajuan yang belum dibahas dan belum disetujui DPRD.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) DKI yang merasa dibohongi dalam RAPBD itu, mengumpulkan tanda tangan untuk hak angket. Benar saja 106 anggota DPRD membubuhkan tandatangannya masing masing pertanda persetujuan angket tersebut, walapun belakangan Nasdem menarik dukungannya dari angket. Pasca penetapan angket tersebut, Ahok, menyambangi Gedung KPK di Kuningan, kehadirannya disini mewujudkan ancamannya akan melaporkan Dana siliman itu kepada KPK. DPRD pun tidak kalah. Mereka hendak melaporkan Ahok ke Bareskrim Polri dan KPK untuk mengusut tindakan dugaan tindak pidananya.
Lapor melapor inilah yang memperruncing masalah antara Gubernur DKI dengan DPRD yang berakibat tertundanya pengesahan RAPBD DKI. Penundaan pengesahan RAPBD ini tentu dampaknya bagi masyarakat Ibukota karena Pemerintah DKI Jakarta tidak dapat melaksanakan pembangunan sesuai rencana yang ditetapkan. Kendati pun misalnya, pemerintah DKI hendak menggunakan nilai Anggaran tahun sebelumnya, dengan berhitung kepada waktu pelaksanaan selama sembilan  bulan maka penerapan anggaran itu pun kemungkinannya tidak akan tercapai 50 %. Meski memang dapat diajukan lagi pada tahun berikutnya, artinya anggaran itu tidak akan hilang karena kembali ke Pemerintah pusat, namun pelaksanaan pembangunannya untuk kepentingan rakyat banyak menjadi tertunda.
MALING TERIAK MALING
Menyikapi perseteruan ini, banyak persepsi di masyarakat menilai maling teriak maling. Siapakah malingnya, proses hukum yang akan membuktikan. Tetapi yang pasti, Ahok menilai, DPRD telah memasukkan anggaran dalam RAPBD ratusan milyar bahkan 1,2 Trilyun dimana pihaknya mengatakan tidak pernah mengajukannya. Sementara DPDRD mengakui bahwa semua bahan yang dibahas dalam RAPBD tersebut bersumber dari SKPD-SKPD pemerintah DKI Jakarta.
Jika Ahok menyatakan ada dana siluman yang dimasukkan dalam RAPBD Tahun 2014-2015 lebih kurang 1,2 Trilyun diluar sepengetahuannya sehingga ia berang sampai melaporkan kasus itu kepada KPK dia akan membuktikan sendiri tuduhannya. Tetapi kalangan DPRD pernah menyatakan, bahwa Pihak Pemda sendiri, pernah hendak menyogok DPRD sebesar 1,27 Trilyun untuk pembahasan RAPBD tersebut. Nah inilah yang perlu diusut hingga tuntas, siapa sesungguhnya yang berbohong dan atau berupaya menyalah gunakan kewenangannya dalam pembahasan RAPBD DKI tahun 2014-2015 ini ?
Save Ahok pun muncul dari kalangan masyarakat, sekaligus pernyataan menolak terhadap Angket yang dilakukan DPRD. Penolakan ini muncul seminggu terakhir. Boleh jadi sebagian warga masyarakat DKI melakukan aksi ini karena dianggap selama ini Ahok berlaku jujur dan bertindak tegas memimpin DKI. Dengan alasan pembangunan demi kesejahtraan rakyat Ibukota, banyak pula menyarankan, Gubernur dan DPRD duduk bersama menyelesaikan masalah yang terjadi diantara kedua lembaga tersebut. Tetapi banyak juga menyarankan bahwa proses hukum termasuk angket yang sudah dibentuk tetap dijalankan untuk mendapatkan data yang akurat demi koreksi dan memperbaiki keadaan tidak saja di Ibukota tetapi juga diseluruh Provinsi, Kabupaten Kota se Indonesia.
Memang, proses hukum perlu terus dijalankan oleh penegak hukum terhadap kasus ini. Biarkan pengadilan yang menilai dan memutuskan apakah seorang itu bersalah atau tidak. Itulah sesungguhnya kepastian hukum dalam negara hukum tidak dalam kompromi yang merusak tatanan hukum. Kompromi dalam politik merupakan kewajaran, namun jika kompromi untuk menyelesaikan suatu masalah yang telah ke permukaan sangat tidak pas karena menjadi masalah dikemudian hari. Lihat saja misalnya, kasus Bibit -Candra yang didevenoring oleh Kejaksaan Agung saat itu. Penghentian penuntutan demi kepentingan umum memang dibenarkan ketentuan perundang undangan, tetapi penghentian penuntutan atas kasus itu hingga saat ini dinilai menggantung oleh karena tidak melalui pengadilan yang berhak menyatakan bersalah atau tidak dari sisi hukumnya. 
Kembali kepada masalah  perseteruan Gubernur DKI dengan DPRD yang kini jadi polemik yang serius untuk ditindak lanjuti. Tindak lanjut yang perlu adalah melanjutkan proses hukum terhadap masalah ini. Apakah KPK atau Bareskrim Polri atau mungkin Kejaksaan Agung RI yang menanganinya diharpkan keseriusannya untuki menuntaskan kasus itu demi kepastian hukum dan keadilan. Dengan proses hukum tersebut akan terbukan lebar siapa yang maling teriak maling.
Read more

0 KPK SERAHKAN PERKARA BG KE JAKSA AGUNG RI.


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan penyidikan Kasus dugaan gratifikasi, Kom Jen Pol, BG kepada Kejaksaan Agung RI. Penyerahan ini dilakukan sesuai keputusan Praperadilan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan bahwa perkara atas diri BG bukan merupakan kewenangan KPK. Hakim tunggal ,Sarpin Rizaldi, yang memeriksa dan mengadili perkara itu menilai, bahwa BG bukan eselon I atau bukan sebagai penyelenggara negara juga bukan penegak hukum. Karenanya penetapan tersangka terhadap BG oleh KPK tidak sah.
Prokontra atas putusan tersebut pun terjadi. Sebagian besar menyatakan bahwa keputusan itu telah melebihi kewenangannya sebagai Hakim. Dalam pasal 77 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan, praperadilan dapat diajukan dalam perkara sah atau tidak  pengkapan, penahanan dan penghgentian Penyidikan . Oleh karena secara limitatif hukum formalnya menmgatur,apa yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan maka  seharusnya hakim tidak dapat menafsirkan lain dari pada apa yang ditentukan hukum tersebut. Hakim adalah penemu dan menciptakan hukum, adalah benar berdasarkan penafsiran suatu  ketentuan yang tidak secara tegas diatur  dalam perundang undangan. Namun jika telah diatur tegas maka seyogyanya tidak ditafsirkan lain dari pada apa yang dinyatakan ketentuan tersebut.Sedangkan disisi lain berpendapat bahwa keputusan hakim Sarpin merupakan terobosan demi hak hak asasi seseorang yang harus dijungjung tinggi.
Terlepas  pro dan kontra di kalangan masyarakat, berkas perkara BG kini telah diserahkan KPK kepada Jaksa Agung RI untuk penyidikan selanjutnya. Penyerahan berkas perkara itu kepada Jaksa Agung ada beranggapan hal terbaik daripada diserahkan kepada Bareskrim Polri. Alasannya karena Bareskrim Polri sebagai petinggi dengan pangkat  Komjen Pol tidak memungkinkan penyidikannya dapat dilakukan sesuai harapan rakyat. Sementara sinyal dari Jaksa Agung HM Prasetiyo, mengatakan akan melimpahkan penanganan kasus itu kepada Bareskrim Polri. Alasannya karena Bareskrim pernah menyidiknya, yang walapun Jaksa Agung menyatakan akan meneliti terlebih dahulu.
PERLU PENAFSIRAN MK
Banyak pihak menilai, KPK seharusnya tidak terburun buru menyerahkan penydidikan kasus BG ini kepada Jaksa Agung. Alasannya, karena putusan Praperadilan yang menyatakan BG bukan penegak hukum dan bukan pejabat eselon satu dan atau sebagai penyelenggara negara, masih dipersoalkan . Sebab, selain kesimpulan hakim yang dinilai kontrpversi itu , KPK pun masih berupaya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung RI. Selain masih menunggu putusa akhir dari Mahkamah Agung pertanyaan kini muncul, bukahkah kasus itu mendapat perhatian masyarakat luas? Bukankah juga dalam Undang Undang No 2 tahun 2002, menyatakan setiap anggota Polisi adalah penegak hukum ? . Jika seandainya Hakim PK menyatakan perkara tersebut sah dan menjadi kewenangan KPK, bagaimana kepastian hukum dalam kasus ini sementara KPK telah menyerahkan kepada Jaksa Agung dan selanjutnya, Jaksa Agung kemungkinan akan menyerahkan kepada Bareskrim Polri.
Hakim, Sarpin Rizaldi, yang memeriksa dan mengadili Praperadilan yang menuai protes ini pun dinilai sebagai telah melebihi kewenangannya. Pasalnya, karena terlalu jauh menafsirkan ketentuan Undang Undang yang merupakan ranah Mahkamah Konstitusi. Pendapat itu boleh jadi benar, karena satu satunya Lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi bukan berarti hakim tidak dapat menafsirkan ketentuan perundang undangan. Penafsiran ketentuan itu sarana menemukan hukum sebatas ketentuan undang undang kurang mengaturnya. Jika ternyata sudah diatur secara limitatif? Menurut tiori maupun dalam praktik hakim tidak ada ruang menafsirkan lain daripada yang telah ditetapkan.
Namun sebagaimana disinggung diatas, lepas dari pro kontra atas keputusan itu, kita harus menghormati keputusan yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum tersebut. Masalahnya, masih ada upaya hukum luar biasa, dimana Hakim Agung Mahkamah Agung RI sebagai pengawal tertinggi keadilan belum memberikan pendapatnya melalui putusan. Karenanya baik KPK, Jaksa Agung menunggu upaya hukum tersebut.  



Read more
 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger