KEMERDEKAAN HAKIM KINI TERUSIK


Hakim merupakan pejabat negara yang karena jabatannya dalam memeriksa suatu perkara ia lepas dari pengaruh siapapun juga. Hal itu ditegaskan dalam penjelasan pasal 24 Undang Undang Dasar 1945. Kini kemerdekaan itu mulai terusik dengan berbagai tanggapan miring atas keputusan bebas yang terjadi pada terdakwa tindak pidana korupsi. Terusik oleh karena setiap putusan yang ternyata membebaskan seorang terdakwa pelaku tindak pidana korupsi tidak saja muncul dari masyarakat tetapi yang paling menyedihkan adalah dari pakar hukum yang tidak pernah mengikuti jalannya persidangan.

Bak gayung bersambut statemen yang seolah menyalahkan hakim yang memeriksa dan memutus perkara itu bilamana ternyata dalam putusannya membebaskan seorang terdakwa dalam perkara tindak pidana. Akibatnya hakim-hakim pada Pengadilan Tipikor di Indonesia kini mulai merasa terusik. Boleh jadi memang sebab  berbagai komentar yang kurang etis itu  tidak saja muncul dari masyarakat yang kurang paham hukum tetapi justru datangnya dari pakar pakar hukum termasuk dari Mahkamah Agung RI turut larut terbawa arus mengomentari putusan tersebut. Padahal Mahkamah Agung mempunyai wewenang terhadap hakim seluruh Indonesia, termasuk memberikan sanksi bilamana  ternyata dari hasil eksaminasi putusannya mengandung ketidak jujuran atau karena faktor faktor ex tertentu misalnya.
Ketua Muda Mahkamah Agung bidang Pidana yang juga Humas Pengadilan tertinggi itu ,Sarwoko nampaknya turut terlibat mengomentari yang tidak sepatutnya terjadi. Sebab seperti disinggung diatas, kewenangan MA untuk mengambil tindakan kepada setiap hakim yang dinilai bermasalah merupakan kewenangannya.Mengapa tidak melakukan eksaminasi terhadap putusan tersebut ? bukankah komentar yang menyalahkan hakim yang memeriksa dan mengadili suatu perkara tertentu yang secara kebetulan tidak terdapat bukti kuat sehingga harus dipersalahkan? Bukankah dalam KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman terhadap seorang kecuali jika ditemukan sekurang kurangnya dua alat bukti dan diyakini oleh Hakim bahwa terdakwalah yang bersalah atasnya?

Semua pihak seharusnya menghormati putusan hukum.Jika ternyata ada suatu kecurigaan misalnya, bolehlah dilakukan penyelidikan, apakah misalnya melalui eksaminasi putusan bersangkutan, atau dengan kewenangan Komisi Yudisial misalnya melakukan pemantauan secara serius sehingga ditemukan bukti kuat, apakah ternyata hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Sebab jika statemen statemen seperti itu terus terjadi tidak dihentikan maka dikhawatirkan hakim hakim di Daerah akan tidak berani berkata jujur sesuai dengan temuan fakta yang sesungguhnya.

YANG BERSALAH HARUS DIHUKUM

Baru baru ini memang KPK menangkap tangan dua orang oknum Hakim yang diduga menerima suap dari keluarga terdakwa yang sedang diperiksa.  Kedua oknum hakim ini tentu harus diproses sesuai ketentuan hukum yang berlakkhususnya program pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan hukuman yang diperberat ada harapan oknum oknum hakim yang nakal lainnya mengurungkan niat jahatnya memperdagangkan putusannya .

Akibat peristiwa diatas pihak pihak mengenerisasi seolah seluruh hakim pada Pengadilan tipikor di Indonesia bermasalah sehingga diminta dievaluasi.Sangat naif rasanya jika hal itu generasikan bahkan mengevaluasi eksistensi Pengadilan Tipikor yang sudah terbentuk untuk selanjutnya ditiadakan. Kita memang tidak boleh tutup mata bahwa ada saja oknum hakim yang nakal tetapi masih banyak hakim hakim yang baik, jujur dan adil. Oleh karenanya pantaskah kita menggenerallisasi hakim disetiap daerah? Bukankah tidak sebaiknya kita  melihat terlebih dahulu fakta sesungguhnya apa yang menyebabkan putusan  bebas itu? Apakah boleh seorang dihukum tanpa sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah menurut hukum yang menunjukkan bahwa terdakwalah yang berslah melakukannya ?

Tindak pidana korupsi memang menjadi musuh kita bersama, oleh karena tindakan seperti itu tidak saja merusak perekonomian  bangsa,  akan tetapi juga merusak sendi sendi kehidupan masyarakat. Karenanya semua elemen bangsa sepakat menjadilkan perkara itu lawan bersama. Namun bukan berarti secara membabi buta kita harus katakan, semua orang meski tidak terbukti dalam persidangan, setiap orang yang diajukan ke muka sidang dengan tuduhan tindak pidana korupsi harus dihukum.

Dalam teory ketuhanan, Hakim adalah wakil tuhan di dalam menetukan nasib seseorang yang diperiksa dimuka sidang. Sebab dalam kepala putusannya jelas dengan irah-irah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karenanya hakim dalam memutus suatu perkara, selain bertanggung jawab kepada masyarakat juga bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya semua pihak seharusnya tidak memberikan statemen apalagi mempersalahkan, tetapi harus tunduk dan taat terhada putusan bersangkutan.  Setiap keputusan yang diambil Majelis misalnya tentulah berdasarkan fakta yang terungkap dalam sidang dan berdasarkan keyakinanya bahwa terdakwa itulah yang bersalah atau sebaliknya.
Adgium hukum yang menyatakan” Sekalipun langit akan runtuh hukum tetap harus ditegakkan”. Dan karenanya pula dikatakan bahwa lebih baik melepaskan 100  orang yang bersalah daripada menghukum seorang yang tidak bersalah. Adagium ini bermaksud bahwa menghukum orang yang yang tidak bersalah merupakan dosa besar karena harus menghukumnya ternyata tidak bersalah Dosa besar ini tidak saja diterima di dunia tetapi juga kelak pada akhirat ia sendiri harus mempertanggung jawabkannya.

Searah dengan tujuan penegakan hukum dan keadilan, dan menjungjung tinggi kemerdekaan hakim itu sendiri kita harus sepakat menghentikan statemen terhadap suatu putusan hakim bilaman kita sendiri juga tidak mengikuti persidangannya. Seandainya pun benar ternyata terdapat kekeliruan baik disengaja maupun tidak semestinya Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dapat melakukan tugas-tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku. Bukan malah memberi penilayan apalagi mempersalahkan suatu putusan tertentu. Sebab jika hal itu terus dilakukan bukan tidak mungkin, seorang yang dihadapkan kemuka sidang hanya karena fitnah misalnya harus mendekam dan dihukum siapa menanggung dosanya ?

Karenanya demi kedilan berdasarkan hukum, hakim di Seluruh Indonesia jangan sampai terpengaruh atas tekanan publik di dalam memutus suatu perkara, akan tetapi benar benar sesuai hukum dan diyakini bahwa terdakwa itulah yang bersalah melakukannya.

comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger