WORKSHOP YANG MUBAZIR ?

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung (Pilkadasung) merupakan salah satu hasil dari  reformasi setelah 32 tahun dibawah  perwakilan. Perwakilan yang diatur dalam Undang Undang Dasar 1945  dinilai tidak mencerminkan pilihan sesungguhnya.Oleh  karena derasnya tuntutan saat itu untuk  mewujudkan  kedaulatan rakyat ,akhirnya ditetapkan   melalui Undang Undang tentang Otonomi Daerah Tahun 2004. Pelaksanaan kedaulatan langsung itu pun berjalan selama lebih kurang 6 tahun, hasilnya, banyak membawa masalah.Masalah yang muncul tidak saja yang ditimbulkan oleh  pelaksana, seperti KPUD, tetapi juga berbagai bentuk suguhan yang tidak mendidik  terhadap masyarakat seperti, money politik, pun terjadi.Akibatnya, selain biaya yang tinggi, juga konflik horizontal pun tidak jarang terjadi disamping masalah hukum hingga ke Mahkamah Konstitusi yang makan biaya yang tidak sedikit.
Menyikapi masalah-masalah yang timbul  terbut mungkin, Kementerian Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenpolhukam) Selasa  22 November 2011 mengadakan workshop di Golden Jakarta. Workshop yang  berjudul “Peningkatan koordinasi penanganan Pemilukada untuk mendapatkan Kepala Daerah yang mampu mensejahterakan rakyat” .Dari thema yang disajikan Panitia ,dapat diartikan bahwa sesungguhnya, panitia sejatinya bermaksud menangkap masukan berharga sebagai  masukan yang akan dijadikan bahan kebijakan selanjutnya dalam memperbaiki keadaan yang diharapkan.
Nyatanya ? jauh panggang dari api, bahkan bertolak belakang dari pidato Pembuklaan yang disampaikan sekretaris Kementerian Politik hukum dan Ham, Dr Hotma Raja Panjaitan,SH.MH. Dalam sambutannya mengatakan bahwa forum itu diharapkan sebagai suatu forum yang dapat mendiskusikan hal hal tentang penataan pemilukada untuk mendapatkan Kepala Daerah yang mampu mensejahterakan rakyat. Setelah pembukaan pukul 10 pagi itu, ditutup sekitar jam 12,17 salah seorang staf Kementerian Polhukam,membacakan pidato penutupan dari Sekretaris KemenPolhukam. Dalam pidato yang dibacakan itu, disimpulkan bahwa ,DPT masih menjadi masalah disamping, money politik dan netralitas Pejabat.
MUBAZIR
Warkshop yang dilaksanakan dalam dua jam itu tidak ubahnya suatu acara yang mubazir tanpa makna dan arti apa apa. Sebab selain menghabiskan anggaran, juga menya-nyakan waktu para peserta yang hadir dari beberapa Departemen. Kehadiran para peserta disitu meski acaranya selama dua jam saja, akan tetapi jika dihitung perjalanan menuju tempat acara tersebut, dan kembalinya maka dipastikan habis waktu satu hari tanpa hasil apa apa. Hal hal seperti inilah salah satu bentuk pemborosan anggaran.
Benar memang, anggaran yang digunakan mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan pembiayaan lain yang lebih besar lagi dilain tempat. Dalam acara ini boleh jadi  biayanya tidak terlalu besar  karena sejumlah Rp 7.000.000 yang dibagikan panitia kesetiap peserta sejumlah 70 orang.Selain itu mungkin biaya tempat,Alat tulis termasuk foto copy makalah dari tiga orang pembicara.beberapa peserta kecewa, karena semula ada anggapan bahwa forum itu akan dijadikan sebagai suatu forum diskusi untuk mencari solusi pemecahan masalah.Diakui memang hasil yang akan didapat saat itu tidak mutlak menjadi bahan kebijakan, tetapi setidaknya tergambar suatu bahan yang berkembang dan dikehendaki masyarakat.
Kekecewaan penulis semakin menjadi, tatkala meminta copy pidato Sekretaris Kementerian Polhukam yang baru saja dibacakan stafnya  itu tidak dapat diberikan oleh Panitia.Alasannya, tidak ada foto copy.Aneh memang, dua jam kemudian setelah pembukaan, telah dapat disimpulkan dalam pidato penutupannya. Boleh jadi kesimpulan itu sebelum acara telah ada ditinjau misalnya dari judul acaranya, atau mungkin prakiraan dari workshop yang dilaksanakan itu. Apapun bentuknya, yang pasti workshop itu telah dilaksanakan tanpa suatu keseriusan untuk mendapatkan sesuatu.
Dari rangkayan acara itu dihubungkan dengan pidato penutupan, tampaknya memang workshop itu tidak secara sungguh sungguh mencari masukan dari hasil diskusi, tetapi sudah dapat ditebak dan disimpulkan apa yang akan dihasilkan. Boleh jadi memang kesimpulan sementara penyelenggara telah diperkirakan, namun layaknya memberikan kesempatan kepada peserta mengemukakan pendapat sesuai perkembangan. Jika semua departemen melakukan hal yang sama, membuat suatu acara dengan biaya negara belum ada apa apa telah disimpulkan ,apa jadinya republik?
Tiga nara sumber yang dihadirkan menjadi pembicara, selain dari KPU hadir pula Sukardi Nirakit yang dikenal sebagai pengamat politik. Dari ketiga nara sumber tersebut, tidak satu pun yang mampu membahas issu terbaru sesuai topik yang disajikan Panitia. Penulis yang hadir sebagai, Ketua Institut Trias Politika Republik Indonesia ,awalnya berharap banyak membahas tentang  penataan pemilukada untuk memperbaiki keadaan.Sebab perkembangan dewasa ini tidak saja menyangkut masalah Pemilihan Gubernur yang nota bene kepanjangan tangan pemerintah pusat, akan tetapi berbagai hal ditingkat Kabupaten/Kota yang kin telah menciptakan raja raja kecil yang seolah lepas kendali dari Pemerintah Pusat. Oleh karena situasi itu layak kiranya kita mengarahkan pemikiran kita untuk mencoba mengevaluasi demi bangsa dan negara khususnya yaitu tadi, kesejahteraan masyarakat.
Kekecewaan sebagian peserta yang merasa waktunya sia sia itu,mungkin  terobati dengan bentuk  penghargaan dari Panitia. Penghargaan dalam bentuk amplop yang  disampaikan Panitia dipintu keluar setelah peserta menandatangani absen masing masing Rp 100.000 peserta. Dua orang mewakili Trias Politika Republik Indonesia menandatangani absen dipintu, dengan menolak pemberian dari Pantia.Penolakan itu bukan berarti tidak menghargai, tetapi untuk dapat dipergunakan pada yang lebih penting.Karenanya maaf kalau pun ditulis menolak agar tidak disalah gunakan saja.
Dari rangkayan acara Workshop dua jam itu penulis  berkesimpulan bahwa Panitia dari Kementerian Politik Hukum dan Ham dalam acara ini kurang serius untuk mencari masukan. Acara ini dibuat  hanya sekedar yang terpenting telah diadakan acara workshop tanpa tujuan yang jelas. Hal hal seperti inilah yang sering terjadi di beberapa departemen non departemental.Akibatnya berbagai pertanyaan masyarakat pun muncul. Apakah hanya untuk menghabiskan anggaran?
Pemilihan langsung yang sekarang dilaksanakan itu  perlu pembahasan serius sebagai bentuk evaluasi untuk menemukan  solusi terbaik dalam pelaksanaan Demokratisasi di Indonesia.Sebab, itu  tadi pengalaman menunjukkan Pemilukada secara langsung ternyata tidak membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat melainkan  pemborosan dan menciptakan i, konflik Horizontal.Jika hal ini terus dibiarkan maka kita khawatir kesatuan yang diperjuangkan para para pahlawan kita akan menjadi buyar berkeping keping. Oleh karenanya perlu juga diarahkan  pemikiran  pada ketentuan yang telah teruji, yaitu, Undang Undang Dasar  1945 berdasarkan Pancasila secara murni dan konsekuen.

comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger