AHOK VS DPRD SIAPA MALING TERIAK MALING?


Perseteruan Gubernur DKI , Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dengan DPRD DKI kini semakin meruncing . Pasalnya, Ahok melaporkan dugaan tindak pidana dalam penyusunan RAPBD menilai telah dimasukkan dana dana yangbtidak diketahuinya. Karenanya ia menganggap dana itu sebagai dana siluman. Sementara DPRD merasa telah dibohongi Ahok, oleh karena RAPBD yang dibahas bersama dan disetujui tersebut tidak dikirim ke Kementerian Dalam Negeri, tetapi yang dikirim adalah bahan ajuan yang belum dibahas dan belum disetujui DPRD.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) DKI yang merasa dibohongi dalam RAPBD itu, mengumpulkan tanda tangan untuk hak angket. Benar saja 106 anggota DPRD membubuhkan tandatangannya masing masing pertanda persetujuan angket tersebut, walapun belakangan Nasdem menarik dukungannya dari angket. Pasca penetapan angket tersebut, Ahok, menyambangi Gedung KPK di Kuningan, kehadirannya disini mewujudkan ancamannya akan melaporkan Dana siliman itu kepada KPK. DPRD pun tidak kalah. Mereka hendak melaporkan Ahok ke Bareskrim Polri dan KPK untuk mengusut tindakan dugaan tindak pidananya.
Lapor melapor inilah yang memperruncing masalah antara Gubernur DKI dengan DPRD yang berakibat tertundanya pengesahan RAPBD DKI. Penundaan pengesahan RAPBD ini tentu dampaknya bagi masyarakat Ibukota karena Pemerintah DKI Jakarta tidak dapat melaksanakan pembangunan sesuai rencana yang ditetapkan. Kendati pun misalnya, pemerintah DKI hendak menggunakan nilai Anggaran tahun sebelumnya, dengan berhitung kepada waktu pelaksanaan selama sembilan  bulan maka penerapan anggaran itu pun kemungkinannya tidak akan tercapai 50 %. Meski memang dapat diajukan lagi pada tahun berikutnya, artinya anggaran itu tidak akan hilang karena kembali ke Pemerintah pusat, namun pelaksanaan pembangunannya untuk kepentingan rakyat banyak menjadi tertunda.
MALING TERIAK MALING
Menyikapi perseteruan ini, banyak persepsi di masyarakat menilai maling teriak maling. Siapakah malingnya, proses hukum yang akan membuktikan. Tetapi yang pasti, Ahok menilai, DPRD telah memasukkan anggaran dalam RAPBD ratusan milyar bahkan 1,2 Trilyun dimana pihaknya mengatakan tidak pernah mengajukannya. Sementara DPDRD mengakui bahwa semua bahan yang dibahas dalam RAPBD tersebut bersumber dari SKPD-SKPD pemerintah DKI Jakarta.
Jika Ahok menyatakan ada dana siluman yang dimasukkan dalam RAPBD Tahun 2014-2015 lebih kurang 1,2 Trilyun diluar sepengetahuannya sehingga ia berang sampai melaporkan kasus itu kepada KPK dia akan membuktikan sendiri tuduhannya. Tetapi kalangan DPRD pernah menyatakan, bahwa Pihak Pemda sendiri, pernah hendak menyogok DPRD sebesar 1,27 Trilyun untuk pembahasan RAPBD tersebut. Nah inilah yang perlu diusut hingga tuntas, siapa sesungguhnya yang berbohong dan atau berupaya menyalah gunakan kewenangannya dalam pembahasan RAPBD DKI tahun 2014-2015 ini ?
Save Ahok pun muncul dari kalangan masyarakat, sekaligus pernyataan menolak terhadap Angket yang dilakukan DPRD. Penolakan ini muncul seminggu terakhir. Boleh jadi sebagian warga masyarakat DKI melakukan aksi ini karena dianggap selama ini Ahok berlaku jujur dan bertindak tegas memimpin DKI. Dengan alasan pembangunan demi kesejahtraan rakyat Ibukota, banyak pula menyarankan, Gubernur dan DPRD duduk bersama menyelesaikan masalah yang terjadi diantara kedua lembaga tersebut. Tetapi banyak juga menyarankan bahwa proses hukum termasuk angket yang sudah dibentuk tetap dijalankan untuk mendapatkan data yang akurat demi koreksi dan memperbaiki keadaan tidak saja di Ibukota tetapi juga diseluruh Provinsi, Kabupaten Kota se Indonesia.
Memang, proses hukum perlu terus dijalankan oleh penegak hukum terhadap kasus ini. Biarkan pengadilan yang menilai dan memutuskan apakah seorang itu bersalah atau tidak. Itulah sesungguhnya kepastian hukum dalam negara hukum tidak dalam kompromi yang merusak tatanan hukum. Kompromi dalam politik merupakan kewajaran, namun jika kompromi untuk menyelesaikan suatu masalah yang telah ke permukaan sangat tidak pas karena menjadi masalah dikemudian hari. Lihat saja misalnya, kasus Bibit -Candra yang didevenoring oleh Kejaksaan Agung saat itu. Penghentian penuntutan demi kepentingan umum memang dibenarkan ketentuan perundang undangan, tetapi penghentian penuntutan atas kasus itu hingga saat ini dinilai menggantung oleh karena tidak melalui pengadilan yang berhak menyatakan bersalah atau tidak dari sisi hukumnya. 
Kembali kepada masalah  perseteruan Gubernur DKI dengan DPRD yang kini jadi polemik yang serius untuk ditindak lanjuti. Tindak lanjut yang perlu adalah melanjutkan proses hukum terhadap masalah ini. Apakah KPK atau Bareskrim Polri atau mungkin Kejaksaan Agung RI yang menanganinya diharpkan keseriusannya untuki menuntaskan kasus itu demi kepastian hukum dan keadilan. Dengan proses hukum tersebut akan terbukan lebar siapa yang maling teriak maling.

comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger