PENYIDIK MABES POLRI KURANG PROFESIONAL?

Jaksa adalah penununut umum dari negara terhadap tundak pidana.Selain sebagai penuntut juga berperan selaku pengacara negara dalam setiap perkara yang melibatkan negara.Oleh karena peranan jaksa sebagaimana disebutkan diatas juga menjadi pelaksana atas putusan Hakim . Oleh karenanya peranan Jaksa sesungguhnya merupakan penyeimbang dalam penegakan hukum yang bukan sekedar menjadi penasehat penyidik manakala penyidik mengirimkan berkas perkara kepadanya.Sering kali terjadi, suatu berkas tertentu tidak layak untuk di P 21 menurut hukum, tetapi karena sejak awal Kejaksaan pemegang SPDP dan melakukan koordinasi dengan penyidik saat pemberkasannya berkas itu meski sudah berulang ulang bolak balik dan ternyata tidak ada perbaikan, atau mungkin terhenti beberapa tahun misalnya, tiba tiba tampa penyidikan tambahan misalnya dapat diterima Jaksa bahkan menjadi P21.
Keadaan seperti tersebut diatas memunculkan berbagai pendapat dari masyarakat luas yang menyatakan penyidik seringkali memperdaya Kejaksaan.Pendapat boleh benar jadi benar, sebab, setiap penyidik akan memulai penyidikan terhadap suatu perkara pidana yang ditanganinya, wajib mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimualinya Penyidikan(SPDP) kepada Kejaksaan. Tujuan dari SPDP itu ialah agar kejaksaan mengetahui bahwa perkara pidana yang sedang disidik penyidik diketahui untuk selanjutnya dapat menunjuk Jaksa penuntutnya. Oleh karenanya maka bilaman ternyata dari haril penyidikannya ternyata tidak cukup bukti atau perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana, dan penyidik menghentikannya maka penyidik wajib pula untuk memberitahukan penghentian penyidikan itu kepada kejaksaan. Demikianlah seterusnya, bilamana suatu perkara yang telah dilakukan penyidikannya sesuai dengan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan ternyata tidak berlanjut maka Kejaksaan wajib meminta dan mempertanyakan perkara tersebut kepada Penyidik untuk diketahui perkembangannya.
Dalam perkara mantan Ketua KPU, Abdul Hafis Anshary misalnya, Kejaksaan Agung pernah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan atas nama tersangka Abdul Hafis Anshary, SPDP yang dikirimkan itu adalah dari penyidik kepada Kejaksaan, namun beberapa hari kemudian Mabes Polri membatahnya . Perkara yang sama terjadi atas diri , mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari. Kejaksaan Agung yang sudah menerima SPDP atas diri Anggota Dewan Penasehat Presiden SBY itu , duahari kemudian dibantah dengan alasan salah ketik dan sebagainya. Menyikapi dua masalah ini, untuk kasus Abdul Jafis Anshary, Wakil Jaksa Agung, Darmono ,menyatakan bahwa pihaknya telah menerima SPDP.Dan jika dianggap itu tidak benar silahkan untuk ditarik.Dalam kasus Mantan Menteri Kesehatan, menyangkut, Siti Fadilah Supari, Jaksa Agung,Basrief, sendiri menyatakan bahwa Kejaksaan agung telah menerima SPDP dari Penyidik Mabes Polri.
Kejaksaan sebagai penegak hukum sekaligus penyeimbang kelengkapan berkas penyidik tampaknya kini mulai menunjukkan jatidiri yang sesungguhnya.Akan tetapi khusus terhadap SPDP penyidik yang tidak ada tindak lanjutnya misalnya hingga bertahun tahun kejaksaan kurang menagih dan atau mempertanyakannya.Hal itu disebutkan oleh karena tidak pernah adanya suatu evaluasi melalui pengumuman yang dilakukan oleh Kejkasaan.Memang dalam hal terjadi suatu berkas perkara yang sudah masuk tahap penyidikan dan SPDP-nya telah dikirim kepada Kejaksaan, ternyata tidak ada kepastian hukumnya misalnya tertahan tanpa alasan yang jelas menurut hukum, boleh jadi Jaksa amenagih akan tetapi tidak ada alat memaksa karena tidak ada sanksi hukumnya.
Demikian juga dalam ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak secara tegas memberikan waktu dan sanksi terhadap maslah ini.Akibatnya, banyak perkara tidak mendapat kepastian hukum dari penyidik, terkadang suatu berkas perkara setelah 3 atau 4 tahun misalnya dijadikan berkas dan sampai kemukam sidang.Meski sesungguhnya tidak secfara tegas dinyatakan dalam KUHAP tentang tenjggang waktu demi kepastian hukum harus ada tindakan penyidik, apakah di hentikan atau diajukan kemuka Sidang Pengadilan. Ketentuan yang tercantum dalam KUHAP yang menyatakan bahwa,seorang tersangka mempunyai hak segera di disidik dan diadili untuk kepastian hukum sesuai dengan semboyan peradilan yang cepat dengan biaya ringan. Mencermati dari sipirit ketentuan undang undang itu sesungguhnya penyidik harus benar benar memberikan tenggang waktu tertentu, pada setiap memulai menangani suatu perkara tindak pidana demi kepastian hukum, tidak mengombang ambing begitu saja hingga 5 tahun misalnya bahkan puluhan tahun tidak ada beritanya.
Ketidak konsistenan penegakan hukum dalam penegakan hukun itu menimbulkan perbedaan pendapat antar penegak hukum itu sendiri. Dalam kasus pelaksanaan putusan Mahkamah Agung atas diri Gubernur Bengkulu nonaktif, Agusrin Nazamuddin misalnya, Mahkamah Agung yang mengirimkan pemberitahuan atas putusan dalam tingkat Kasasi itu, berharap Kejaksaan dapat melaksankannya.Akan tetapi, kejaksaan menilai bahwa pemberitahuan yang dikirimkan itu bukan merupakan ponnis yang dapat dilaksanakan. Kejaksaan akan melaksanakannya jikalau dia telah menerima salinan putusan resmi atas perkara tersebut
Argumentasi Kejaksaan yang menyatakan akan melaksanakan putusan itu jikalau sudah menerima petikan resmi atas keputusan tersebut mungkin benar, sebab selaku eksekutor bagaimana melaksanakan putusan untuk mengeksekusi seseorang yang telah dihukum berdasarkan putusan yang sudah berkekuatan tetap jika tidak menerima salinan atas keputusan tersebut. Bukankah Eksekutor harus membacakan diktum putusan yang dimaksud ? Selain untuk penegakan hukum yang sesungguhnya boleh jadi kekhawatiran Jaksa untuk melaksanakan berdasarkan surat pemberitahuan.Sebab sering kita mendengar keputusan yang berbeda atau mungkin dibuat buat oknum yang tidak bertanggung jawab misalnya.Contohnya saja keputusan Mahkamah Agung RI yang terdapat dalam website MA yang dapat diakses banyak orang, ternyata bisa tiba tiba berbeda isi dengan penjelasan resminya Hakim Agung .Misalnya saja, kasus, Mita Tobing, Direktur Utama TVRI dalam website resmi MA yang dilansir koran – koran lengkap dengan nomor perkara yang pernah diterima Mita Tobing, tertulis dalam Website bahwa perkara tersebut telah diputus ia dibebaskan.Artinya, keputusan itu dinyatakan menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Akan tetapi keterangan salah seorang Hakim Agung kepada Pers mengatakan bahwa perkara Mita tobing benar telah diputus dengan hukuman 1,6 tahun penjara.Anehnya, nomor perkara yang diterima terdakwa dengan nomor yang diumumkan Mahkamah Agung beda.Mana yang benar?
Kejaksaan boleh jadi tidak mau menlaksanakan eksekusi terhadap seseorang yang diponnis oleh MA jika tidak memegang salinan putusan resmi, bukan karena kecurigaan misalnya takut dipalsukan orang ditengah jalan, akan tetapi murni dalam melaksanakan hukum sesuai ketentuan yang berlaku harus dihargai. Jika masyarakat tidak ribut tentnag keputusan atas perkara Gubernur Bengkulu nonaktif itu , perbedaan pendapat ini pun tidak terjadi.Karenanya berbagai pertanyaan muncul, apakah MA masih terpengaruh terhadap pendapat masyarakat umum? Apa sesungguhnya yang perlu diributkan dalam pelaksanaan itu, adakah sponsor dibalik perkara itu, seperti pernyataan, mantan Menteri Kesehatan yang juga Anggota Dewan Tim Penasehat Presiden yang mengatakan bahwa ada pihak pihak tertentu yang menghendaki dirinya menjadi tersangka?
Terkait dua kasus mantan Pejabat tinggi negara ,yaitu, mantan Ketua KPU,Abdul Hafis Anshary, dan mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Siti Fadilah Supari, Mabes polri sesungguhnya tidak perlu ragu dan merasa keseleo mengirimkan SPDP nya kepada Kejaksaan Agung RI. Sebab penetapan seorang tersangka tidak melangggar hukum ,sebab masih dalam koridor asas praduga tidak bersalah. Namun sebaliknya jika ternyata dalam penyidikannya memang tidak ditemukan cukup bukti, atau misalnya perkara itu bukan perkara pidana, maka sesuai ketentuan hukumm, Mabes Polri wajib menerbitkan Surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) Dengan demikian kepastian hukumnya pun menjadi jelas. Akan tetapi jika digantung seolah olah tidak ada apa apanya maka bukan tidak mungkin hal itu dapat dijadikan alat tertentu misalnya seperti ,menyandera seperti yang terjadi di elit politik belakangan ini.

comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger