0 KAPOLRI TERPPILIH JADI WAKAPOLRI
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Rabu, 22 April 2015
Memperjuangkan keadilan memang tidak semudah membalikkan
tangan. Pasalnya banyak pihak hendak memperjuangkan keadilan yang menerpa
dirinya kandas sedemikian rupa dihadapn hukum hanya karena formalistis semata. Ada
banyak kasus yang disidik oleh penyidik sebut saja kasus pembunuhan di Bekasi,
Jombang dan lain penyidik yang menetapkan yang disangkanya itu pun dihukum
berat. Putusan ini sampai tingkat Mahkamah Agung menguatkannya. Artinya perbal
dari Penyidik dinhatakan sangat sempurna oleh Kejaksaan, selanjutnya ke
Pengadilan, dan anehnya lagi ndibuktikan di Pengadilan. Dua kasus terakhir yang
dihukum 18 Tahun karena pembunuhan, bernasib baik.Seorang yang ditahan di LP
mengakui sendiri perbuatannya terhadap kasus tersebut dan bukan terhukum itu
yang melakukan tetaspi dirinya. Pengakuan tulus ini pun diklarifikasi oleh yang
bewenang benar faktanya. Bagaimana terhukum yang sudah mendekam tersebut? Tidak
berarti langsung dilepas tetapi ia harus mengajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali
jika kasusnya sudah mempunyaim kekuatan hukum tetap.
Komisaris Jenderal Polisi, Drs,Budi Gunawan,SH.Msi dinilai
berprestasi di Kepolisian. Karenanya baik dari Komponas, teristimewa Presiden
Joko Widodo mengusulkannya untuk menjadi Calon tunggal Kapolri menggantikan,
Jenderal Polisi Drs Sutarman Januari 2015 lalu. Sayangnya, secara tiba tiba dan
mendadak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pimpinan Abraham Samad dan Bambang
Widjojanto menetapkannya sebagai tersangka dugaan tindak pidana Gratifikasi. Meski
secara politis, Budi gunawan telah disetujuai oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, Presiden urung melantiknya. Aalasannya semula dinyatakan
menunggu proses hukum yang saat itu digelar Praperadilan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.
Rasa keadilan , Budi Gunawan, pemohon Praperadilan tersebut
pun tercapai. Penetapan tersangka terhadap dirinya oleh KPK dinyatakan tidak
sah. Sesungguhnya dengan proses hukum yang telah berkekuatan itu, dihubungkan
dengan persetujuan DPR-RI tidak ada lagi alasan bagi Presiden untuk tidak
melantiknya. Tetapi yang terjadi, Presiden Jopko Widodo mengubahnya dengan
mengganti calon yang baru, Komjen Pol Badrodin Haiti yang kini telah sah
menjadi Kapolri.
BEDA NASIP ATAU FAKTA
Keberuntungan seseorang memang berbeda beda, sejak
praperadilan, Komjen Pol Budi Gunawan dikabulkan, Hakim Sarpin, ada beberapa
tersangka mengajukan Praperadilan tentang sah tidaknya penetapan tersangka ini
ke Pengadilan, khususnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dari beberapa
kasus Praperadilan itu semuanya ditolak, dengan berbagai alasan. Di Jawa Timur
misalnya, Hakim menolak Pernohonan Praperadilan atas penetapannya sebagai
tersangka oleh Kepolisian dinyatakan tidak masuk objek Praperadilan, dan ada
juga oleh karena perkaranya sudah masuk pengadilan maka sesuai ketentuan
Permohonan tersebut dinyatakan gugur.
Komjen Budi Gunawan memang dinilai boleh sangat beda
dibanding yang lainnya. Perbedaan disi bukan karena dia sebagai seorang
Jenderal berbintang tiga, tetapi penetapannya dirinya selaku tersangka oloh KPK
dinilai banyak pihak tendensi politik. Kecurigaan itu karena saksi-saksi yang
memberatkan atas dirinya belum pernah diperiksa, kecuali mungkinm benar
mendapatkan data-data tertentu, bukankah data itu harus divalidasi? Itulah
masalahnya. Dan ternyata, benar, Hakim ,Sarpin menyatakan penetapan tersangka
terhadap Budi Gunawan adalah tidak sah. Artinya, secara hukum maupun politik
Budi sama sekali tidak bersalah.
Kini, Kapolri terpilih itu pun harus rela menjadi Wakil
kepala Polri. Boleh jadi memang sebagai prajurit sesuai sapta marga, dimanapun
dan kapan pun seorang prajurit harus siap tidak membatah. Itu mungkin yang
dilakukan, Seorang Budi Gunawan, sehingga bersedia dipilih menjadi Wakil
Kapolri.
Bagaimanakah jaminan hukum terhadap orang yang tidak bersalah
? haruskah tetap dihukum secara sosial meski dinyatakan oleh hukum tidak?
Semoga hukum kedepan benar benar mejadi dasar dari segala keputusan.
.
0 PENAHANAN TERSANGKA HARUSNYA TERPAKSA
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Senin, 30 Maret 2015
Kewenangan Penyidik untuk
melakukan penahanan terhadap seseorang tersangka yang disidik karena diduga
telah melakukan suatu tindak pidana seringkali dinilai masyarakat umum sebagai
suatu tindakan pemaksaan yang dapat dilakukannya dengan penilayan yang
subyektif bukan objek tif. Ketentuan dalam Kitab U&ndang UndangHukum Acara
Pidana( KUHAP) memang menyatakan bahwa
penyidik dapat melakukan penahanan terhadap seorang tersangka yang disidiknya.
Kata dapat disini tidaklah secara otomatis, tetapi penahanan itu dilakukan jika dinilai tersangka akan melarikan diri
misalnya, yang dapat mempersulit pemeriksaan, atau menghilangkan barang bukti,
yang dapat mempersulit pembuktian di muka sidang, atau mengilangi perbuatannya. Demikian tegas sesungguhnya
diatur dalam KUHAP, tetapi sudah dijalankan sesuai ketentuan itu?.
Ada banyak kasus yang disidik,
baik ditingkat penyidik Polri, Kejaksaan seorang tersangka yang diduga telah
melakukan suatu tindak pidana langsung ditahan tanpa membuktikan seorang
tersangka itu misalnya belum terbukti hendak mempersulit pemeriksaan, hendak
menguaalngi perbuatannya dan atau merencanakan menghilangkan barang bukti.
Katakan saja, Ny asyah, nenek tua yang diduga melakukan pencurian kayu di
Sidoarjo Jawa Timur. Mungkin kah sang Nenek itu hendak mengulangi perbuatannya?
Atau menghilangkan barang bukti dan atau akan melarikan diri? Sehingga harus
ditahan baik oleh Penyidik dan kejaksaan? Jawabannya tentu unsur –unsur itu
tidak terpenuhi. Sebab selain nenek tua tersebut adalah seorang wanita yang
lugu, sudah ujur dan dipastikan tidak berdaya untuk melakukan sesuatu yang
dapat mempersulit pemeriksaan dan atau menghilangkan barang bukti.
Ada banyak kasus memang
seharusnya tidak dapat ditahan, akan tetapi penyidik seringkali melakukan
penahanan terhadap tersangka tersebut. Beda misalnya seorang Begal yang ramai
saat ini, kasus pembunuhan dan perkara pidana tertangkap tangan yang
membahayakan umum. Tetapi dalam kasus kasus tertentu seperti kasus pencurian
dalam keluarga misalnya, dan perkara yang dialami Ny asyah sesungguhnya tidak
memerlukan penahanan jikalau penyidik secara fair memberikan penilayan, tidak
akan melarikan diri, karena sudah terlalu tua, misalnya, tidak akan mengulangi
perbuatannya, oleh karena bukan profesinya atau bukan karena sudah beberapa
kali kedapatan melakukannya dan juga tidak akan menghilangkan barang bukti,
karena dia tidak mempunyai kemampuan untuk itu.
HARUS DIATUR LEBIH TEGAS
Terhadap penahanan ini memang,
ketentuan perundang undangan memberikan kewenangan terhadap penyidik untuk
melakukan penahanan dan tidak melakukan penahanan terhadap seorang tersangka
yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Namun kewenangan yang diatur di
dalam ketentuan KUHAP tersebut harusnya dipertegas misalnya melalui peraturan
Jaksa Agung, Kapolri atau Keputusan Mahkamah Agung sehingga tidak ditafsirkan
lain daripada yang sesungguhnya Ambil contoh Perma Mahkamah Agung RI No 2 tahun 2012 diterbitkan
MA sebagai jawaban atas kasus yang diributkan saat itu yaitu kasus, Ny Minah, yang diduga mencuri tiga kakao di Jawa Timur dan seorang anak yang diduga mencuri sandal di
palu. Pasal 363 KUHP tentang pencurian memang diancam dengan hukum 5 tahun
pencara yang juka menggunakan kekerasan dihukumlebih tinggi lagi. Penahanan
terhadap tersangka sekali lagi kata dapat dilakukan jika ancaman hukum diatas
lima thau. Ketentuann itu digunakan penyidik.
Oleh karena penahan itu
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku maka, penyidik yang melakukan penahan
itu benar tidak salah. Apa yang salah dalam penahan itu, ialah rasa keadilan
mamsyarakat. Karena itu, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 2 tahun
201 menyatakan pidana ringan dengan
kerugian dibawah Rp 2,5 juta tidaka perlu ditahan. Perma ini baik karena
memberikan perlindungan, tapi sayang oleh karena dalam perma tersebut tidak
tegas mengaturnya hanya bentuk himbawan
bukan tidak mungkin penyidik akan
mengatakan peratuan Mahakamh Agung itu
berlaku bagi kehakiman tidak secara otomatis berlaku bagi penyidik.
Jika ternyata penyidik memberikan
suatu penilayan seperti diatas boleh jadi dia benar adanya. Sebab seandainya
pun Perma secara tegas misalnya menyatakan tidak dapat ditahan, bukan tidak
mungkin penyidik akan mengatakan bahwa ketentuan itu berlaku bagi lingkungan
peradilan atau Kehakiman tetapi tidak berlaku bagi penyidik. Nah jika suat peraturan
MA itu tidak secara ategas ketentuan mengatur maka tidak mungkin dapat
diberlakukan secara umum. Bukankah Mah Kamah Agung selaku peradilan
tertinggi wajib membentuk dan menemukan hukum jika didalam suatu ketentuan
belum cukup mengaturnya? Bukankah juga MA mempunyai kewajiban memberikan
kepastian hukum dan keadilan untuk menjamin hak hak seorang ? tentu jawabanya
ya, bukan hanya MA tetapi semua hakim ditingkat pengadilan negeri, Tinggi wajib
memberikan keadilan kepada setiap orang yang dihadapkan kepadanya berdasarkan
hukum.
KUHAP KARYA AGUNG BANGSA
Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) diakui sebagai satu satunya karya bangsa Republik Indonesia
dalam ketentuan yang mengatur beracara
dalam pidana. Sebagai karya agung
bangsa, Kuhap ini sesungguhnya harus diturut dan di taati oleh semua penegak
hukum khususnya para penyidik. Sebab dalam KUHAP ini telah menegaskan dan,
jelas apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan. Artinya,
dalam ketentuan itu telah mengatur batas batas yang dapat dilakukan dan tidak
dapat dilakukan oleh penyidik manapun di Republik ini. Karenanya, siapapun
harusnya tunduk dan taat terhadap ketentuan yang telah membatasinya. Namun oleh
karena dalam ketentuan itu tidak adas
sanksi bagi pelanggarnya maka, penilayan secara subyektifitasnya menjadi
terpenting tidak peduli aturan yang membatasinya.
Sebut saja misalnya pasal 72
KUHAP, dalam ketentuan ini menyatakan,
bahwa seorang tersangka yang disidik oleh penyidik wajib mendapatkan satu
turunan hasil Berita Acara Pemeriksaan terhadap dirinya untuk persiapan
pembelaannya. Tetapi leluasakah seorang tersangka mendapatkan turunan ini? Jawabannya tidak. Sebab meski telah berulangkali diminta tersangka
atau kuasanya misalnya, seringkali penyidik tidak memberikannya, dengan suatu
alasan rahasia negara. Memang tidak semua penyidik melakukan itu banyak penyidik
lain yang sadar dan menjujung tinggi hak asasi manusia,yang memperhatikan hak
hak seorang tersangka itu. Mereka yang sadar dan menghormati ketuan ini, meski
tersangkanya tidak meminta, penyidik yang sadar ini memberikanya sendiri.
Kembali soal penahanan yang
banyak menilai seorang tersangka diluar Tipikor yang sangat subyektif sebagaimana
disebutkan diatas, karenanya dalam pembahasan RUU tentang KUHP dan KUHAP yang
kini masuk dalam prolegnas Dewan
Perwakilan Rakyat haruslah benar benar
memperhatikan secara tegas ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban termasuk
sanksi yang tegas baik terhadap penyidik maupun tersangka, yang melakukan pelanggaran
itu. Jika ketentuan itu disusun secara tegas dan sanksi yang tegas pula maka ,
harapan masa depan penegakan hukum khususnya penahanan tidak dijadikan alat
pengekangan misalnya atau alat politik bahkan akan dapat meminimais tindakan
pelanggaran hukum lainnya. Dengan demikian maka penahan seorang tersangka yang
diduga melakukan suatu tindak pidana, adalah terpaksa karena berdasarkan bukti
bukti nyata melakukan suatu pelanggaran yang disyaratkan dalam ketentuan
perundang undangan tetapi bukan tujuan. Itulah harapan masyarakat terhadap
aparat penegak hukum berdasarkan keadilan.
0 DUA PARTAI PESERTA PEMILU DIGEMBOSI ?
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Rabu, 25 Maret 2015
Dua Partai mapan dan terlama,
Partai Golkar yang sebelumnya bernama Sekretariat Bersama dan Partai Persatuan
Pembangunan memiliki dua kubu kepemimpinan. P3 hasil Muktamar Surabaya dan
hasil Muktamar Jakarta sama sama mengaku pengurus yang sah. Demikian juga
Golkar, hasil Munas Bali dan hasil Munas Jakarta masing masing juga mengaku
pengurus yang sah. Kepengurusan P3 hasil Muktamar Surabaya disahkan Menteri
hukum dan Ham sebagai pengurus yang sah, dan Munas Golkar di Ancol juga
disahkan sebagai pengurus yang sah.
Pengesahan pengurus hasil Munas
dan Mktamar yang diprotes itu dinilai sarat dengan kepentingan politik
pemerintah. Alasannya selain Kemenhuk Ham tidak konsisten terhadap ketentuan
perundang undangan tentang Partai Politik, Kementerian Hukum dan Ham ini juga
dinilai memainkan standar ganda dalam mengambil kebijakan. P3 misalnya ,
menyatakan bahwa Menteri Hukum dan Ham yang menerbitkan surat Keputusan tentang
susunan dan personalia hasil Muktamar Surabaya, tidak mempedulikan hasil
Mahkamah Partai yang menyatakan kedua hasil Muktamar itu tidak sah. Tetapi
dengan pertimbangannya sendiri mengesahkan hasil Muktamar Surabaya. Kini
masalahnya pada tingkat Banding karena PTUN menyatakan Keputusan Menteri Hukam
tersebut tidak sah.
Kesahan terhadap P3 itu diulangi lagi kepada Golkar. Pengurus
Golkar hasil Munas Jakarta dinyatakan sebagai yang sah. Alasannya adalah sesuai
hasil keputusan Mahkamah Partai sebagai dasarnya. Mahkamah Partai menurut persi
Munas Bali, tidak memberikan suatu putusan terhadap dua kubu di Partai Golkar
baik hasil Munas Bali maupun hasil Munas Jakarta. Boleh jadi memang tidak ada
suatu keputusan Mahkamah Partai Golkar yang sah. Pasalnya, empat orang hakim Mahkamah Partai tersebut
sama imbang sehingga tidak dapat suara lebih dari 50 % misalnya. Kedua kubu
sama sama mengakui bahwa dalam pertimbangan putusan Mahkamah Partai yang
disidangkan empat anggotanya itu menyatakan bahwa baik Munas Jakarta maupun
Bali salah satu diantarnya tidak dapat dinyatakan sebagai yang sah. Akan tetapi
terdapat suatu amar dari dua anggota hakim Mahkamah menyatakan Munas Ancol sah.
Amar tersebut oleh Kementerian
Hukum dan Ham dianggap sebagai suatu putusan yang sah, dan karenanya ia pun
menerbitkan surat yang ditujukan kepada Partai Golkar menyusun kelengkapan
kepengurusan untuk selanjutnya didaftarkan. Selanjutnya, Kementerian hukum dan
Ham menerbitkan pendaftaran kepengurusan Munas Ancol sebagai Pengurus sah
Partai Golkar periode 2015-2016.
Dua keputusan yang mensahkan kubu
pendukung Pemerintah itu pun menuai protes keras. Tidak saja dianggap sebagai
begal politik tetapi juga dinilai sebagai perbuatan melawan hukum oleh
penguasa, Karenanya, proses hukum pun berlangsung baik dalam Perdata maupun
Tata Usaha Negara.Khusus Golkar, dugaan tindak pidananya pun telah di laporkan
ke Mabes polri dan kini dalam pengusutan Bareskrim Mabes Polri. Sementara prses
hukum sedang berlangsung, kubu Agung Laksono mendesak hendak merombak susunan
kelengkapan DPR dari fraksi Partai Golkar. Keputusan Agung Laksono Ketua Umum
hasil Munas Ancol untuk merombak ketua Fraksi Partai Golkar ada juga benarnya
jika ditinjau dari sisi Keputusan Kementerian Hukum dan Ham tersebut. Sebab
keputusan itu adalah sah dan dapat dilaksanakan kecuali keputusan hukum menyatakan
lain. Nah inilah yang menarik untuk dikaji, siapakah yang bermain dan memainkan
siapa.
Partai peserta pemilu merupakan
asset negara. Oleh karenanya, pemerintah wajib untuk membina partai partai
tersebut sebagai suatu lembaga kaderisasi calon pemimpin bangsa masa depan.
Menteri Hukum dan Ham yang menerbitkan keputusan terhadap pengesahan Munas
Ancol pimpinan Agung Laksono, boleh jadi benar menurut penafsirannya
berdasarkan putusan Mahkamah Partai Golkar itu sendiri. Meski pun sesungguhnya
keputusan itu berimbang tidak ada yang lebih kuat suaranya, tetapi Kementerian
Hukum dan Ham menafsirkannya bahwa keputusan itu final. Namun disayangkan
memang, Undang Undang tenatng Partai Politik memberikan ruang bagi pihak pihak
yang tidak puas terhadap putusan Mahkamah untuk mengajukan Kasasi dengan waktu
yang dibatasi. Artinya masih ada ruang untuk mengujinya guna mendapatkan suatu
kepastian hukum sesuai ketentuan yang berlaku.
Berbeda dengan P3, Kementerian
Hukum dan Ham menurut persi Muktamar Jakarta tidak mempertimbangkan keputusan
Mahkamah Partai. Itulah sebabnya dinilai, Kementerian Hukum dan Ham membuat
standar ganda dalam menyeleswaikan masalah di dua Partai ini. Bukankah
seharusnya Menteri hukum dan Ham menunggu proses hukum dari Pengadilan untuk
selanjutnya mengambil keputusan? Bukankah juga Kubu Abu Rizal Bakri telah
mendatangani dan memberikan surat kepada Kementerian Hukum dan Ham tentang
tidak sahnya Munas Ancol karena tidak didukung Ketua ketua DPD I dan II
dibandingkan Munas Bali seluruh Ketua DPD dan II hadir dalam Munas? Senadainya
benar berdasarkan penafsiran hasil putusan Mahkamah Partai menjadi dasar Kemen
Huk Ham, pertnayaannya, bukan Kementerian hukum dan telah mengetahui adanya
perkara di Pengadilan? Bukankah juga masih ada hak yang tidak dapat menerima
putusan tersebut untuk mengajukan Kasasi ? itu beberapa pertanyaan yang belum
terjawab, sehingga memunculkan persepsi publik Kementerian Hukum dan Ham tidak
secara hati hati menerbitkan keputusannya sehingga diduga sebagai keberpihakan
untuk kepentingan politik pemerintah.
Persepsi masyarakat itu boleh
jadi benar. Sebab, secara kebetulan memang, P3 hasil Mukatamar Surabaya
mendukung Koalisi Indonesia Hebat , demikian juga Golkar Hasil Munas Jakarta mendukung Partai
Koalisi Indonesia Hebat.
Pada pemerintaha Orde Baru sering
terdengar memang, partai yang berseberangan dengan pemerintah secara sengaja
digembosi, apakah melalui suatu kasus tertentu atau penyusupan sehingga terjadi
bentrok kepengurusan atau keputusan. Kini apakah hal itu dilakoni Kementerian
Hukum dan Ham Republik Indonesia ? belum tentu memang, kecuali mungkin hanya
masalah penafsiran saja baik terhadap ketentuan perundang undangan maupun
keputusan Mahkamah Partai. Apapun alasannya kini perbicangan bahwa Partai
Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan dinilai di gembosi ?
0 SETIAP TERPIDANA WAJIB MENDAPATKAN HAK REMISI
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Senin, 16 Maret 2015
Warga binaan adalah mereka yang
dihukum berdasarkan keputusan hukum berkekuatan tetap. Apapun kasusnya, baik
pelaku makar terhadap negara, pembunuhan, teroris ,narkoba dan pelaku tindak
pidana korupsi semuanya warga binaan dalam Lembaga Pemasyarakatan. Karenanya
perubahan penjara jaman dahulu kepada Lembaga pemasyarakatan berimplikasi
kepada pembinaan mental, ahlak kejiwaan untuk selanjutnya dapat berubah menjadi
warga yang baik, benar dan berguna bagi masyarakat bangsa dan negara. Sejalan
dengan itu, petugas Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia melakukan
pembinaan itu secara baik, kontinyu, baik dengan cara menghadirkan tokoh agama,
bimbingan doa ,serta pendidikan lainnya seperti
ketrampilan dan seterusnya dilakukan guna menjadikan narapidana itu sebagai
manusia yang baik yang tidak mungkin lagi mengulangi perbuatannya dikemudian
hari.
Sejalan dengan maksud
pembinaannya itu, pemerintah menerbitkan suatu ketentuan yang mengaturnya.
Namun perkembangangannya belakangan menjadi lain, yaitu pembinaan terhadap
pelaku Teroris,Narkoba dan Korupsi dibatasi melalui Peraturan Pemerintah No 99 tahun 2012 tentang
syarat dan tata cara hak warga binaan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut
dinyatakan pelaku tindak pidana, terorisme,Narkoba dan Korupsi dapat diberikan
remisi dan pembebasan bersyarat jika mau menjadi, justice colaborator, artinya mau bekerja sama dengan penegak hukum
untuk mengungkap perkara tersebut.
Kerja sama yang dimaksud ini
sesungguhnya dapat diartikan baik, tetapi juga bisa berakibat tidak baik jika
pelaksanaannya tidak hati hati. Pasalnya, bukan tidak mungkin seseorang
tersangka misalnya mengait –ngaitkan seseorang hanya karena pernah bersama,
turut dalam pertemuan padhal tidak mengetahui apa yang dibicarakan dan lain
sebagainya, terseret hanya untuk mendapatkan keringanan hukuman dan remisinya
kelak termasuk pembebasan bersyarat jika dipandang ia berkelakukan baik selama
di Lembaga Pemasyarakatan.
Pertanyaannya sekarang, apakah
adil menurut hukum membedakan tiga jenis pidana itu terhadap warga binaan
lainnya? Bukankah menyeret orang lain yang memang nyata tidak terlibat dalam
suatu tindak pidana misalnya hanya karena ingin mendapatkan perlakuan khusus
menarik pihak lain dianggap sebagai Justice Colaborator sehingga mendapat
pengurangan hukuman bahkan remisi dan kemudian pembebasan bersyarat?
Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia merencanakan pengaturan remisi ini secara adil kepada semua warga
binaan, namun mendapat tantangan dari penggerak anti korupsi termasuk KPK
sendiri. Banyak diantara mereka menilai, rencana pengaturan itu sebgai suatu
obral remisi. Berbagai pendapat sah sah saja dilontarkan siapapun juga, tetapi
pertanyaannya sekarang, bukankah pandangan itu sudah terlalu jauh mencampuri
urusan pihak lain? Apakah dengan tidak memberikan remisi terhadap tiga tindak
pidana itu diyakini mampu membuat efek jera? Jawabannya tentu belum tentu
benar. Sebab sekalipun seorang pelaku tindak pidana Narkoba misalnya telah
dihukum mati bahkan telah pula dieksekusi, apakah berkurang pelaku tindak pidana
terhadap perkara ini? Jawabannya juga tidak lah benar, terbukti semakin gencar
juga baik melalui Lapas, diluar lapas , termasuk tindak pidana korupsi semakin
ramapai disemua sektor.
Dari kenyataan seperti diatas,
tidak saja dalam bentuk pemberian remisi yang merupakan hak seorang terpidana,
tetapi dengan menghukum mati sekalipun tidak cukup signifikan membuat jera
terhadap tindak pidana ,Korupsi,Narkoba dan Terorisme ini. Kita harus berpikir
jernih memperlakukan mereka sesuai ketentuan tentang hak asasi Manusia. Seorang
terpidana misalnya apapun bentuk kasusnya, harus mendpatkan haknya sebagai
warga binaan, untuk dia sadari bahwa dia diperlakukan secara manusiawi dan
memberikan haknya itu sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan demikian maka
diharapkan yang bersangkutan sadar bahwa
negara turut memikirkannya jika ternyata benar benar ia berlaku baik
sesuai hasil pantauan Petugas lapas selama yang bersangkutan menjalani
hukumannya.
Penilaian berkaluan baik ini
memang banyak dikeluhkan keluarga binaan. Beberapa pemberitaan maupun dalam
berbagai diskusi yang dilakukan terungkap bahwa meski berkelakuan baik sesuai
fakta sehari hari, namun jika tidak ada pulus warga binaan yang beritikad baik
itu tidak akan mendapatkan remisi. Bahkan untuk bebas bersyarat pulusnya dikabarkan
semakin besar karena ia akan menghirup udara segar. Tetapi sebaliknya, dalam
pengertian baik sesusungguhnya tidak dapat diberikan kepada seseorang binaan,
tetapi oleh karena pulusnya lumayan banyak maka, diberikan surat penilayan luar
biasa baiknya. Akibat dari situasi ini bukan tidak mungkin warga binaan lain
pun apatis karena tidak akan mendapat remisi itu karena tidak mempunyai bayak
uang misalnya.
Nah, dari kenyataan diatas
sesungguhnya kita harus berpikir jernih
benar, bahwa setiap warga binaan mempunyai hak yang sama dengan warga binaan
lainnya tanpa membeda bedakannya. Terbukti dengan pembedaan itu mereka semakin
tidak ada harapan sebagai warga binaan, akibatnya bukan tidak mungkin mereka
berpikir tidak perlu berlaku baik, bahkan memberikan pencerahan baik terhadap
warga binaan lainnya. Boleh jadi seperti istilah mantan mantan narapidana yang
menyatakan, bahwa Tahanan, atau Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat kuliah
bagi mereka untuk jauh lebih canggih melakukan suatu tindak pidanan kelak.
Istilah ini sangat sering kita dengar, boleh jadi benar memang, terbukti
beberapa kasus tertentu misalnya, ia masuk karena terbawa atau ikut ikutan,
selanjutnya setelah menjalani hukuman ia bukannya baik tapi semakin jahat
bahkan pengetahuannya pun semakin tinggi setelah bergabung dengan teman lainnya
selama di Lapas.
Lalu bagaimana agar warga binaan
ini dapat berubah menjadi manusia yang baik setelah menjalani hukumannya? Tentu
banyak hal yang dapat dilakukan. Misalnya saja, setiap warga binaan apapun bentuk
kasusnya, hak haknya sebagai warga haruslah diperhatikan. Kedua, memberikan
penilayan terhadap warga binaan dilakukan oleh tim tertentu dengan mikanisme
kerja penyelidikan, wawancara, yang tentu terakhir meminta laporan harian dari
petugas lapas. Jika hanya bekal laporan Lapas maka dikhawatirkan penilayan
karena pendekatan tertentu bukan tidak mungkin terjadi, akibatnya yaitu tadi
warga binaan lainnya pun menjadi apatis.
0 TEGAKKAN HUKUM TANPA MELANGGAR HUKUM
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Rabu, 11 Maret 2015
Penundaan proses hukum terhadap unsur
pimpinan KPK nonaktip, Bambang Widjojanto
Abraham Samad termasuk dua wakil yang menjadi terlapor dan 21 penyidik
KPK dinilai sebagai suatu tindakan melanggar hukum. Sebab ketentuan hukum
Indonesia mengatur seorang yang diduga melakukan tindak pidana dan telah
dijadikan tersangka wajib segera diperiksa, diadili untuk mendapatkan kepastian
hukum atas dirinya . Karenanya penundaan proses hukum atas 4 orang unsur
Pimpinan KPK dan 21 penyidik yang
diumumkan Wakapolri tersebut menimbulkan persoalan baru, bahkan memunculkan
persepsi negatif bagi kepolisian .
Polri selaku penyidik tunggal tindak pidana umum,
yang juga berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana lainnya itu
menurut hukum , wajib mengusut setiap kasus yang ditanganinya hingga tuntas . Bilamana dari hasil
penyidikannya ternyata telah
memenuhi unsur-unsur berdasarkan bukti
bukti yang sah selanjutnya penyidik menyerahkan berkas perkara itu kepada
Kejaksaan untuk selanjutnya didakwa di muka sidang pengadilan. Namun sebaliknya
jika ternyata dari hasil penyidikan tidak cukup bukti, atau perkara tersebut
bukan merupakan tindak pidana, maka sesuai ketentuan hukum, penyidik harus
menghentikannya dengan menerbitkan Surat pemberitahuan penghentian penyidikan
(SP3) Dengan demikian maka tercipta kepastian hukum yang sesungguhnya tidak
malah menggantung.
Penundaan proses hukum terhadap
dua unsur Pimpinan KPK noaktif yang dimumkan Waka Polri, Komjen Pol Badrodin
Haiti, dapat menimbulkan persepsi negatif bagi Polri sendiri. Selain itu juga
berbagai pertanyaan pun muncul, apakah Polri hanya ingin memberhentikan,
Bambang Widjojanto dan Abaraham Samad dari pimpinan KPK ? apakah benar perkara
kedua unsur pimpinan KPK nonaktip itu ternyata kurang layak diajukan ke muka
sidang? Itulah diantaranya pertanyaan yang muncul dikalangan masyarakat, yang
persepsi selama ini dikatakan kriminalisasi oleh Polri. Boleh jadi kata kata
kriminalisasi kurang dimengerti, misalnya, tidak perkara tetapi diada adakan
itu jelas kriminalisasi. Nah, terhadap perkara yang sedang disidik ini, jelas
bukan kriminalisasi karena ada saksi korban yang melaporkan peristiwa tersebut,
dan ternyata hasil penyelidikan ditemukan fakta fakta hukum sehingga
ditingkatkan statusnya menjadi tersangka.
Waka Polri memang neyatakan hanya
menunda tidak berarti menutu perkaranya. Penundaan dimaksud bisa satu bulan
atau dua bulan, namun pertnyaannya sekarang untup apa menunda nunda perkara,
bukankah hukum menetapkan proses cepat dengan biaya ringan? Bukankah juga
kewajiban penyidik selaku penegak hukum untuk melanjutkan perkara itu untuk
mendapatkan keputusan? Jika hanya berdasarkan tanggapan sebagian kalangan
masyarakat yang memintanya sehingga terjadi kesepakatan misalnya, antara Wakapolri,
Jaksa Agung dan Pimpinan KPK menunda dengan pertimbangan pendapat masyarakat,
pertnayaannya, bukankan seharusnya pada awalnya demikian kuat dan kencangnya
protes dari masyarakat luas? Kenapa bukan pada saat itu dinyatakan untuk
ditunda. Itulah juga berbagai pertanyaan yang muncul.
Perkara ,Cicak- Buaya , saat itu
sedemikian tingginya tekanan politik masyarakat luas yang menyatakan
kriminalisasi. Sedemikian kencangnya protes dari berbagai kalanmgan rakyat
Indonesia, Bareskrim Polri saat itu tetap melakukan proses hukum hingga
melimpahkannya ke Kejaksaan Agung. Jaksa Agung saat itu menggunakan
kewenangannya sesuai ketneutan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yaitu menghentikan penuntutan demi kepentingan umum. Meski deponering terhadap
kasus itu banyak ditentang , tetapi keputusan itu sah menurut hukum positif
oleh karena telah diatur dan ditentukan dalam ketentuan hukum untuk keadilan.
Pertanyaannya sekarang bagaimana dengan perkara, Bambang dan Samad, bukankah
tidak sebaiknya dilanjutkan proses hingga mendapatkan kepastian? Dapatkah kita
lakukan kebijakan diatas ketentuan hukum? Demi hukum dan keadilan serta menjaga
citra kepolisian sebagai penegak hukum, proses perkara kedua unsusr pimpinan
nonaktif , Bambang dan Samad segera dapat dilimpahkan kepada Kejaksaan untuk
selanjutnya diperiksa dan diadili dimuka hukum. Dengan demikian terdapat
kepastian hukum baik bagi tersangka maupun penegakan hukum itu sendiri.
Mengenai dua pimpinan KPK yang
masih dalam penyelidikan pun semestinya tidak serta merta dinyatakan dihentikan
. Penghentian terhadap penyelidikan kedua kasus itu mestinya dilakukan setelah
mendapatkan kesimpulan dari penyidik Bareskrim Polri apakah dapat dilanjutkan
atau tidak tentu berdasarkan bukti bukti. Jika ternyata tidak cukup bukti,
yaitu tadi, dihentikan demi hukum, tetpai tidak kebijaksanaan yang terkesan
melanggar hukum.
0 KASUS BG DISERAHKAN KE JAKSA AGUNG STAF KPK PROTES
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Rabu, 04 Maret 2015
Tiga PLT Komisioner Pemberantasan
Korupsi (KPK) pimpinan ,Taufiqqurahman Ruki,bersama dua orang Komisioner
lainnya yang berstatus terlapor di Mabes Polri, sepakat menyerahkan penanganan
kasus Komjen Pol BG ke Kejaksaan Agung RI. Jaksa Agung yang akan menerima
berkas itu pun menyatakan siap untuk selanjutnya diserahkan kepada Bareskrim
Polri. Keinginannya itu karena sebelumnya Bareskrim Polri telah pernah
menangani perkara tersebut. Penyerahan penanganan perkara itu ke Jaksa Agung
menuai protes dari Staf KPK. Demonstrasi yang digelar Staf KPK tersebut
dihadiri, Taufiqqurahman Ruki sebagai PLT Ketua KPK pengganti Abaraham Samad yang diberhentikan sementara
karena telah menjadi tersangkan dugaan pemalsuan dokumen.
Dalam orasi yang disampaikan Staf
KPK tersebut antara lain menyatakan,penyerahan penangnan kasus itu ke Jaksa
Agung menimbulkan ketidak adilan bahkan mengorbankan idealisme anti rasuah itu
memberantas korupsi. Untuk itu, pegawai KPK tersebut pun menuntut Pimpinan KPK
untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Praperadilan yang
mengabulkan permohonan BG.
Putusan Praperadilan memang
merupakan putusan pertama dan terakhir, artinya final yang tidak memberikan
ruang untuk Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Demikian juga
Peninjauan Kembali atas putusan yang berkekuatan hukum tetap itu, menurut
ketentuan hukum yang diperkenankan mengajukan PK adalah keluarga atau ahli
warisnya atau Jaksa Agung untuk kepentingan hukum. Karenanya, pendapat tentang
boleh atau tidak KPK mengajukan Peninjauan kembali atas putusan Praperadilan
ini menjadi perdebatan dikalangan
masyarakat dan pakar pakar hukum masing masing mempertahankan pendapatnya
sendiri sendiri tidak peduli terhadap berbagai keberatan yang muncul dikalangan
masyarakat luas atas putusan tersebut.
Pelaksana Tugas Ketua KPK, Ruki,
yang mengahdiri Demonstrasi Pegawainya itu pun turut membubuhkan tandatangan
diatas Spanduk Putih yang digelar Stafnya tersebut. Ruki, mengaku kalah.
Pengakuan kalah yang dimaksud, meski dinyatakan akan fokus kepada perkara yang
tertunggak di KPK yang memerlukan penanganan secepatnya, kekalahan dimaksud
menarik untuk dikaji. Apakah karena putusan praperadilan yang menyatakan penetapan tersangka atas diri BG KPK tidak
sah, karena bukan merupakan wewenangnya?
Atau hendak menyelamatkan Wakil Ketua KPK, Zulkarnai , yang menjadi terlapor
dugaan menerima suap untuk menghentikan penyidikan kasus Korupsi dana hibah
program penangan sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) di Jawa Timur tahun 2008,
dan Adnan Pandu Praja terlapor dugaan pemalsuan surat Notaris dan penghilangan
saham PT Desy Timber? Termasuk 21 Penyidik KPK yang akan disidik Bareskrim
dugaan tindak pidana kepemilikan senjata api illegal ? tidak jelas.
KOMPROMI POLITIK ?
Wakil Kepala Polri, Komjen Pol
Badrodin Haiti, yang juga pelaksana harian Kapolri mengatakan, pengusutan
terhadap perkara yang melibatkan, dua wakil ketua KPK,Zulkarnai, dan Adnan
Pandu Praja ditunda. Penundaan itu diputuskan setelah adanya koordinasi antar
penegak hukum. Hasil koordinasi antar lembaga penegak hukum itu juga menjadi
faktor yang membuat KPK melimpahkan pengusutan Kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan
Agung. Kejaksaan selanjutnya berencana melimpahkan kasus itu ke Kepolisian
(Kompas 3/3)
Koordinasi antar lembaga penegak
hukum ini boleh jadi kompromi politik antar lembaga penegak hukum tersebut.
Bukankah dalam perundang undangan memberikan ruang bagi Jaksa Agung untuk
menghentikan penuntutan demi kepentingan umum? Meski tidak diatur dalam ketentuan perundang undangan, bukan kah
pemerintah bertanggung jawab terhadap kenyamanan dan keamanan di negeri ini ?
bukankah pula pejabat tinggi negara wajib menciptakan kedamaian di dalam
masyarakat ? itulah mungkin salah satu alasan dalam koordinasi penegak hukum
menyepakati pelimpahan kasus BG ke Jaksa Agung dan demi kelangsungan KPK Polri
setuju untuk menunda pengusutan dua wakil KPK yang sudah menjadi terlapor di
Mabes Polri.
Boleh jadi memang, tanpa suatu
kesepakatan antar penegak hukum di dalam meredam gejolak yang muncul belakangan
masing masing pihak harus menjalankan tugasnya sesuai perintah undang undang.
Sebut saja misalnya, Bareskrim Polri yang telah menerima laporan pengaduan dari
masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana, dia wajib melaksanakan pengusutan demi kepastian
hukum. Karenanya, penetapan tersangka, terhadap, Bambang Widjojanto, Abraham
Samad setelah penyelidikan, penyidikan didapat bukti kuat perkara tersebut
dapat ditingkatkan sehingga menetapkannya sebagai tersangka. Begitu pun terhadap
terlapor dua pimpinan KPK lainnya yang sedang dalam tahap penyelidikan termasuk
21 Penyidik KPK yang diduga memiliki senjata api illegal tersebut tetap akan
dilanjutkan demi hukum sesuai kewenangannya.
Koordinasi penegak hukum yang
menghasilkan penundaan proses hukum terhadap dua wakil Ketua KPK dan 21
Penyidik KPK dan penyerahan kasus BG
kepada Jaksa Agung untuk selanjutnya Kejaksaan Agung menyidiknya dapat dianggap
sebagai suatu jalan keluar terbaik. Pasalnya, Bareskrim Polri yang mengusut 21
anggota Penyidik KPK dan dua Wakil akan terus berlangsung sesuai kewenangan dan
kewajiban Polri. Dapat dibayangkan jika hal itu dilantukan sementara ini maka
KPK benar benar lumpuh . Nah oleh karena masing masing penegak hukum ingin
memperkuat KPK, Polri dan Jaksa Agung sebagai penegak hukum di negeri ini maka
ketiganya sepakat penanganan kasus dua wakil Ketua KPK dan 21 Penyidik KPK
ditunda sementara, sedangkan perkara BG diserahkan ke Kejaksaan Agung RI.
Adakah yang salah dalam
kesepakatan ini? Jawabannya tidak. Sebab jika penanganan kasus BG tetap
dilanjutkan di KPK, bukan tidak mungkin penyidik KPK dalam melakukan penyidikan lanjutan kurang
netral mengingat kasus yang terjadi antar KPK
Vs Polri. Demikian juga Polri, jika melanjutkan penyidikan terhadap 21
penyidik KPK dan dua wakil Ketuanya, bukan tidak mungkin KPK runtuh. Jika hal
itu terjadi kegaduhan politik maupun hukum semakin menjadi mengakibatkan
masyarakat semakin terpuruk. Karena itu, marilah memberikan kesempatan kepada
penegak hukum menjalankan tugasnya demi tegaknya hukum, tidak lagi berpikiran
sempit yang menyatakan, kriminalisasi. Sebab sebagaimana disinggung diatas,
Polisi yang menerima laporan pengaduan wajib melaksanakan tugasnya sesuai
ketentuan perundang undangan yang berlaku.
Bagaimana selanjutnya proses
perkara BG ditangan Jaksa Agung, apakah benar akan dilimpahkan ke Bareskrim
Polri atau mengusutnya sendiri sesuai ketentuan hukum demi kepastian dan
keadilan ? kita tunggu saja Jaksa Agung RI.
0 AHOK VS DPRD SIAPA MALING TERIAK MALING?
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Selasa, 03 Maret 2015
Perseteruan Gubernur DKI , Basuki
Tjahaya Purnama alias Ahok dengan DPRD DKI kini semakin meruncing . Pasalnya,
Ahok melaporkan dugaan tindak pidana dalam penyusunan RAPBD menilai telah
dimasukkan dana dana yangbtidak diketahuinya. Karenanya ia menganggap dana itu
sebagai dana siluman. Sementara DPRD merasa telah dibohongi Ahok, oleh karena
RAPBD yang dibahas bersama dan disetujui tersebut tidak dikirim ke Kementerian
Dalam Negeri, tetapi yang dikirim adalah bahan ajuan yang belum dibahas dan
belum disetujui DPRD.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD)
DKI yang merasa dibohongi dalam RAPBD itu, mengumpulkan tanda tangan untuk hak
angket. Benar saja 106 anggota DPRD membubuhkan tandatangannya masing masing
pertanda persetujuan angket tersebut, walapun belakangan Nasdem menarik
dukungannya dari angket. Pasca penetapan angket tersebut, Ahok, menyambangi
Gedung KPK di Kuningan, kehadirannya disini mewujudkan ancamannya akan
melaporkan Dana siliman itu kepada KPK. DPRD pun tidak kalah. Mereka hendak
melaporkan Ahok ke Bareskrim Polri dan KPK untuk mengusut tindakan dugaan
tindak pidananya.
Lapor melapor inilah yang
memperruncing masalah antara Gubernur DKI dengan DPRD yang berakibat
tertundanya pengesahan RAPBD DKI. Penundaan pengesahan RAPBD ini tentu
dampaknya bagi masyarakat Ibukota karena Pemerintah DKI Jakarta tidak dapat
melaksanakan pembangunan sesuai rencana yang ditetapkan. Kendati pun misalnya,
pemerintah DKI hendak menggunakan nilai Anggaran tahun sebelumnya, dengan
berhitung kepada waktu pelaksanaan selama sembilan bulan maka penerapan anggaran itu pun
kemungkinannya tidak akan tercapai 50 %. Meski memang dapat diajukan lagi pada
tahun berikutnya, artinya anggaran itu tidak akan hilang karena kembali ke
Pemerintah pusat, namun pelaksanaan pembangunannya untuk kepentingan rakyat
banyak menjadi tertunda.
MALING TERIAK MALING
Menyikapi perseteruan ini, banyak
persepsi di masyarakat menilai maling teriak maling. Siapakah malingnya, proses
hukum yang akan membuktikan. Tetapi yang pasti, Ahok menilai, DPRD telah
memasukkan anggaran dalam RAPBD ratusan milyar bahkan 1,2 Trilyun dimana
pihaknya mengatakan tidak pernah mengajukannya. Sementara DPDRD mengakui bahwa
semua bahan yang dibahas dalam RAPBD tersebut bersumber dari SKPD-SKPD
pemerintah DKI Jakarta.
Jika Ahok menyatakan ada dana
siluman yang dimasukkan dalam RAPBD Tahun 2014-2015 lebih kurang 1,2 Trilyun
diluar sepengetahuannya sehingga ia berang sampai melaporkan kasus itu kepada
KPK dia akan membuktikan sendiri tuduhannya. Tetapi kalangan DPRD pernah
menyatakan, bahwa Pihak Pemda sendiri, pernah hendak menyogok DPRD sebesar 1,27
Trilyun untuk pembahasan RAPBD tersebut. Nah inilah yang perlu diusut hingga
tuntas, siapa sesungguhnya yang berbohong dan atau berupaya menyalah gunakan
kewenangannya dalam pembahasan RAPBD DKI tahun 2014-2015 ini ?
Save Ahok pun muncul dari
kalangan masyarakat, sekaligus pernyataan menolak terhadap Angket yang
dilakukan DPRD. Penolakan ini muncul seminggu terakhir. Boleh jadi sebagian
warga masyarakat DKI melakukan aksi ini karena dianggap selama ini Ahok berlaku
jujur dan bertindak tegas memimpin DKI. Dengan alasan pembangunan demi
kesejahtraan rakyat Ibukota, banyak pula menyarankan, Gubernur dan DPRD duduk
bersama menyelesaikan masalah yang terjadi diantara kedua lembaga tersebut.
Tetapi banyak juga menyarankan bahwa proses hukum termasuk angket yang sudah
dibentuk tetap dijalankan untuk mendapatkan data yang akurat demi koreksi dan
memperbaiki keadaan tidak saja di Ibukota tetapi juga diseluruh Provinsi,
Kabupaten Kota se Indonesia.
Memang, proses hukum perlu terus
dijalankan oleh penegak hukum terhadap kasus ini. Biarkan pengadilan yang menilai
dan memutuskan apakah seorang itu bersalah atau tidak. Itulah sesungguhnya
kepastian hukum dalam negara hukum tidak dalam kompromi yang merusak tatanan
hukum. Kompromi dalam politik merupakan kewajaran, namun jika kompromi untuk
menyelesaikan suatu masalah yang telah ke permukaan sangat tidak pas karena
menjadi masalah dikemudian hari. Lihat saja misalnya, kasus Bibit -Candra yang
didevenoring oleh Kejaksaan Agung saat itu. Penghentian penuntutan demi
kepentingan umum memang dibenarkan ketentuan perundang undangan, tetapi
penghentian penuntutan atas kasus itu hingga saat ini dinilai menggantung oleh karena
tidak melalui pengadilan yang berhak menyatakan bersalah atau tidak dari sisi
hukumnya.
Kembali kepada masalah perseteruan Gubernur DKI dengan DPRD yang kini
jadi polemik yang serius untuk ditindak lanjuti. Tindak lanjut yang perlu
adalah melanjutkan proses hukum terhadap masalah ini. Apakah KPK atau Bareskrim
Polri atau mungkin Kejaksaan Agung RI yang menanganinya diharpkan keseriusannya
untuki menuntaskan kasus itu demi kepastian hukum dan keadilan. Dengan proses
hukum tersebut akan terbukan lebar siapa yang maling teriak maling.
0 KPK SERAHKAN PERKARA BG KE JAKSA AGUNG RI.
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Senin, 02 Maret 2015
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menyerahkan penyidikan Kasus dugaan gratifikasi, Kom Jen Pol, BG kepada
Kejaksaan Agung RI. Penyerahan ini dilakukan sesuai keputusan Praperadilan
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan bahwa perkara atas diri
BG bukan merupakan kewenangan KPK. Hakim tunggal ,Sarpin Rizaldi, yang
memeriksa dan mengadili perkara itu menilai, bahwa BG bukan eselon I atau bukan
sebagai penyelenggara negara juga bukan penegak hukum. Karenanya penetapan
tersangka terhadap BG oleh KPK tidak sah.
Prokontra atas putusan tersebut
pun terjadi. Sebagian besar menyatakan bahwa keputusan itu telah melebihi
kewenangannya sebagai Hakim. Dalam pasal 77 Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) menyatakan, praperadilan dapat diajukan dalam perkara sah atau
tidak pengkapan, penahanan dan
penghgentian Penyidikan . Oleh karena secara limitatif hukum formalnya
menmgatur,apa yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan maka seharusnya hakim tidak dapat menafsirkan lain
dari pada apa yang ditentukan hukum tersebut. Hakim adalah penemu dan
menciptakan hukum, adalah benar berdasarkan penafsiran suatu ketentuan yang tidak secara tegas diatur dalam perundang undangan. Namun jika telah
diatur tegas maka seyogyanya tidak ditafsirkan lain dari pada apa yang
dinyatakan ketentuan tersebut.Sedangkan disisi lain berpendapat bahwa keputusan
hakim Sarpin merupakan terobosan demi hak hak asasi seseorang yang harus
dijungjung tinggi.
Terlepas pro dan kontra di kalangan masyarakat, berkas
perkara BG kini telah diserahkan KPK kepada Jaksa Agung RI untuk penyidikan
selanjutnya. Penyerahan berkas perkara itu kepada Jaksa Agung ada beranggapan
hal terbaik daripada diserahkan kepada Bareskrim Polri. Alasannya karena Bareskrim
Polri sebagai petinggi dengan pangkat Komjen Pol tidak memungkinkan penyidikannya
dapat dilakukan sesuai harapan rakyat. Sementara sinyal dari Jaksa Agung HM
Prasetiyo, mengatakan akan melimpahkan penanganan kasus itu kepada Bareskrim
Polri. Alasannya karena Bareskrim pernah menyidiknya, yang walapun Jaksa Agung
menyatakan akan meneliti terlebih dahulu.
PERLU PENAFSIRAN MK
Banyak pihak menilai, KPK
seharusnya tidak terburun buru menyerahkan penydidikan kasus BG ini kepada
Jaksa Agung. Alasannya, karena putusan Praperadilan yang menyatakan BG bukan
penegak hukum dan bukan pejabat eselon satu dan atau sebagai penyelenggara
negara, masih dipersoalkan . Sebab, selain kesimpulan hakim yang dinilai
kontrpversi itu , KPK pun masih berupaya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke
Mahkamah Agung RI. Selain masih menunggu putusa akhir dari Mahkamah Agung
pertanyaan kini muncul, bukahkah kasus itu mendapat perhatian masyarakat luas?
Bukankah juga dalam Undang Undang No 2 tahun 2002, menyatakan setiap anggota Polisi
adalah penegak hukum ? . Jika seandainya Hakim PK menyatakan perkara tersebut
sah dan menjadi kewenangan KPK, bagaimana kepastian hukum dalam kasus ini
sementara KPK telah menyerahkan kepada Jaksa Agung dan selanjutnya, Jaksa Agung
kemungkinan akan menyerahkan kepada Bareskrim Polri.
Hakim, Sarpin Rizaldi, yang
memeriksa dan mengadili Praperadilan yang menuai protes ini pun dinilai sebagai
telah melebihi kewenangannya. Pasalnya, karena terlalu jauh menafsirkan
ketentuan Undang Undang yang merupakan ranah Mahkamah Konstitusi. Pendapat itu
boleh jadi benar, karena satu satunya Lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi
adalah Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi bukan berarti hakim tidak dapat
menafsirkan ketentuan perundang undangan. Penafsiran ketentuan itu sarana
menemukan hukum sebatas ketentuan undang undang kurang mengaturnya. Jika
ternyata sudah diatur secara limitatif? Menurut tiori maupun dalam praktik
hakim tidak ada ruang menafsirkan lain daripada yang telah ditetapkan.
Namun sebagaimana disinggung
diatas, lepas dari pro kontra atas keputusan itu, kita harus menghormati
keputusan yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum tersebut.
Masalahnya, masih ada upaya hukum luar biasa, dimana Hakim Agung Mahkamah Agung
RI sebagai pengawal tertinggi keadilan belum memberikan pendapatnya melalui
putusan. Karenanya baik KPK, Jaksa Agung menunggu upaya hukum tersebut.
0 PERSETERUAN AHOK VS DPRD DKI, KPK DAN ANGKET BERPACU.
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Jumat, 27 Februari 2015
Perseteruan, Basuki Tjahaya
Purnama, (Ahok), Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD DKI Jakarta sejak ditinggal
Joko Widodo yang menjadi Presiden Rwepublik Indonesia kini terus berlanjut.
Ahok yang pada saat itu menjabat wakil Gubernur sudah dipersoalkan. Masalahnya,
Ahok dinilai cpas ceplos tanpa memperhitungkan kata kata yang akan dilontarnya,
bahkan mungkin meninggung perasaan pihak lain. Undang Undang menegaskan sebagai
wakil jika Gubernurnya berhalangan dan atau mengundurkan diri maka, wakil
otomatis menjadi Gubernurnya. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, Basuki
Tjahaya Purnama pun dilantik Presiden sebagai Gubernur devinitif tiga bulan
yang lalu.
Menjadi Gubernur, Ahok, rupanya
tidak berubah sikap dalam pandangannya khususnya statmen-statemennya. Boleh
jadi memang, ia ditempa dengan terbuka, tanpa teding aling-aling dalam
menyatakan suatu pendapatnya, teristimewa hendak memberangus tindak pidana
korupsi dilingkungan pemda DKI Jakarta yang menjadi tanggung jawabnya. Ada
banyak hal memang telah dilakukan, baik pembinaan internal , mengurangi
janbatan yang dianggap tidak perlu, muaranya adalah mengirit biaya, yang
walapun disisi lain dia memberikan gaji luar biasa kepada pegawainya yang baik
membuat beberapa Daerah lain iri hati. Namun ada banyak pula berpandangan
pemberian insentif tinggi dapat dijadikan alasan memacu kinerja yang baik dan
menghindari tindak pidana korupsi.
Itikad baik Ahok terus dilakukan,
namun rupanya sisa sisa amarah keduanya, baik Ahok sendiri maupun anggota DPRD
DKI masih tersimpan. Boleh jadi memang, Ahok kerap kali menyatakan sikap
berseberanmgan dengan DPRD nya, bahkan menuduhnya yang macam macam yang
ditanggapi sebagian anggota di DPRD yang menjadi mitranya itu, sebagai bentuk penghinaan
dan lain sebagainya.
Pembahasan APBD yang mestinya
disahkan November-Desember 2014, tertunda akhirnya dapat diselesaikan Januari.
Nah inilah puncak masalah antara Gubernur DKI dengan DPDRD. Pasalnya, Ahok mera
beberapa item yang tidak diusulkan masuk dalam RAPBDP. Merasa tidak
mengusukannya, Ahok tidak mengirimkan APBDP itu ke Mendagri, tetapi mengirimkan
yang sebelumnya. Sedangkan DPDRD menilai, berkas yang dikirim Ahok itu tidak
sah. Sebab selain tidak ada tanda tangan Ketua, tidak pernah dibahas bersama
DPRD dengan Gubernur. Terhadap pernyataan DPRD ini Ahok pun menanggapinya bahwa
RAPBD yang dimaksud DPRD tersebut terdapat dana siluman diluar usulannya,
karena itu ia pun tidak mau.
ANGKET DAN LAPOR KPK.
Dewan Perwakilan Rakyat DKI
Jakarta yang merasa dibohongi Ahok itu pun membentuk hak angket. Anggota DPRD
semuanya menandatangani angket itu dengan membentuk tim sebanyak 33 orang
menyedikinya. Searah dengan pembentukan angket itu, Basuki Tjahaya Purnama,
yang sebelumnya mengancam akan melaporkan DPRD kini diwujudkannya. Didampingi
beberapa stafnya, Ahok pun melaporkan dugaan dana siluman yang terdapat dalam
APBDPnya ke KPK Jumat 27 Februari 2015. Usai menerima laporan tersebut , kepada
wartawan, Johan Budi, mengatakan ada indikasi dana siluman dalam RAPBD
tersebut.
KPK dan Angket kejar kejaran
membuktikan kinernyanya. Hak Angket yang dibentuk berdasarkan penetapan Ketua
DPRD DKI itu diberikan waktu selama 2 bulan. Nah dalam 2 bulan ini, 33 anggota
angket bekerja untuk membuktikan pelanggarannya Ahok. Bagaimana dengan dugaan
tidak pidana korupsinya? KPK yang sudah menyatakan ada indikasi harus dapat
menyidik kasus itu dengan waktu yang sesingkat singkatnya untuk membuktikan
secara hukum, ada atau tidak pidananya. Ditinjau dari sisi hukum tipikor, dengan
pernyataan Wakil KPK tersbut nampaknya tidak sulit membuktikan. Sebab dalam
rumusan tindak pidana korupsi menyatakan, berpotensi untuk merugikan negara
sekali pun sudah terbukti menurut hukum, jadi tidak memerlukan kerugian yang
nyata (fisik)
Seandainya Angket lebih dahulu
membuktikan penyelidikannya, dan seterusnya dialnjutkan kepada pemakjulan Ahok
atau sebaliknya, KPK dapat membuktikan selanjutnya ke Pengadilan apa yang
terjadi. Demi tegaknya hukum, dan bagian pembelajaran kepada para Pejabat maupun
Dewan masing masing kasus itu berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Angket secara pilitik dilanjut hingga tuntas sesuai ketentuan tanpa asa dendam
kecuali kebenaran yang nyata, sementara KPK yang akan menydik kasus itu
mempercepat spitnya untuk kepastian hukum demi keadilan. Marilah bersama sama
kita kawal dan cermati pelaksanannya sebagai bagian dari kontrol terhadap
penyelenggara negara.
0 PENEGAKAN HUKUM OLEH POLRI KRIMINALISASI?
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Kamis, 26 Februari 2015
Proses penegakan hukum
terhadap,laporan dugaan tindak pidana yang diduga dilakukan,pimpinan KPK
nonaktif, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, termasuk terlapor, dua komisioner
lainnya dan 21 penyidik KPK menuai banyak protes dari masyarakat. Penetapan
trsangkat atas diri, Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan pemeriksaan terhadap
terlapor lainnya dinilai upaya pemberangusan KPK yang mendapat kepercayaan
banyak dari masyarakat sebagai suatu lembaga yang mampu menunjukkan kinerjanya
untuk memberantas korupsi.
Pandangan negatif terhadap
Kepolisian yang menjalankan tugas dan fungsinya dalam menegakkan hukum itu pun
tak terelakkan. Alasannya, tak lama setelah KPK menetapkan Kmojen Pol Budi
Gnawan sebagai tersangka dugaan gratifikasi, penangkapan terhadap Bambang
Widjojanto dilakukan, Bareskrim Polri. Penangkapan itu banyak menilai diluar
prosedur oleh karena Bareskrim Polri belum pernah melayangkan panggilan
terhadap yang bersangkutan sebagaimana lazimnya dalam suatu tindak pidana
diluar tertangkap tangan.
Kenapa sedemikian rupa persepsi
negatif kebanyakan masyarakat terhadap Polri, hingga menganggap Polri
mengadakan kriminalisasi terhadap KPK ? persepsi itu muncul mengaitkan beberapa
peristiwa sebelumnya, yaitu, kasus Buaya versus Cicak, yang sempat menetapkan,
Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto, Candra Hamzah sebagai tersangka. Dan
untuk Irjon Pol Joko Susilo yang ditetapkan tersangka dalam kasus Simulator
Korlantas, Penyidik dari Bengkulu datangi
Kantor KPK untuk menangkap Novel Basweden penyidik KPK yang menangani
Joko Susilo. Untuk kasus Buaya vs Cicak didevonering atas perintah Presiden
waktu itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedangkan untuk Novel Basweden, SBY
menyatakan waktunya tidak tepat.
HUKUM HARUS DITEGAKKAN
Polri sebagai penyidik tunggal
terhadap tindak Pidana Umum , dalam perkara ini sesungguhnya telah melakukan
tugasnya secara benar. Sebab setiap laporan yang masuk tentanga dugaan adanya
suatu tondak pidana, Polri wajib menindak lanjutinya. Masalah waktu, boleh jadi
lambat dan juga dipercepat tergantung kesiapan penyidik, namun yang pasti semua
perkara pidana yang dilaporkan kepadanya selama belum lewat waktu (kedaluwarsa)
tetap ditindak lanjuti. Sebut saja misalnya, Novel Baswedan , yang penah
ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penembakan mengakibatkan orang
meninggal dunia ketika ia menjabat kasat reskrim di Bengkulu, yang sempat
dihentikan sementara atas pemikiran SBY waktu itu sebagai Presiden yang
menyatakan waktunya kurang tepat, kini dilanjutkan. Penghentian sementara
penyidikan terhadap, Novel Baswedan, bukan berarti Penyidik menghentikan
penyidikannya, tetapi hanya waktu kurang tepat menurut SBY waktu itu.
Boleh jadi,Polri merasa kini waktunya melanjutkan kasus, Novel Baswedan.
Masalahnya jika sebelumnya dihentikan sementara , bukan berarti Penyidik
mendiamkan begitu saja kasus itu, hanya karena Novel sebagai penyidik di KPK,
Polri pun berhitung kepada waktu jangan sampai kedaluwarsa mengakibatkan tidak
ada kepastian hukum. Demikian juga terhadap BW dan AS termasuk 21 penyidik
lainnya harus tetap dilanjutkan demi tegaknya hukum. Persepsi yang timbul
dimasyarakat yang menyatakan Polri hendak melumpuhkan KPK, mungkin berlebihan,
karena Polri sendiri telah mempersiapkan 50 penyidik ahli membantu KPK. Nah,
dari sisi ini apakah benar ada niat polri memberangus KPK sebagai penegak
hukum? Jawabannya tentu tidak berdasar.
Polri sebagai pengayom dan
pelindung masyarakat, tentu harus juga instrospeksi dan berbenah atas
penyidik-penyidiknya yang seringkali masih kurang taat terhadap pelaksanaan
ketentuan undang undang. Sebut saja misalnya hak hak seorang tersangka,
dimanapun, kapan pun wajib diberi kebebasan untuk dikunjungi kuasanya .
Demikian juga haknya untuk mendapatkan turunan Berita Acara Pemeriksaan atas
dirinya selaku tersangka menurut pasal 72 KUHAP wajip pula diberikan. Namun
seringkali, penyidik menganggap turunan BAP itu sebagai raha sia negara
sehingga belum dapat diberikan. Boleh jadi memang, berkas perkara secara
keseluruhan merupakan rahasia yang tidak dapat dibuka penyidik sebelum dimuka
sidang pengadilan, akan tetapi khusus turunan BAP atas diri tersangka seketika
itu wajib diberikan.
Polri selaku penegak hukum harus
taat menegakkan hukum termasuk juga hak hak tersangka yang sedang disidik. Jika
ketulusan dan ketaatan itu dapat dilaksanakan penyidik, persepsi negatif yang
berlebihan seperti saat ini mungkin tidak terjadi, bahkan kepercayaan
masyarakat semkin tinggi. Karenanya marilah bersama sama mengawal penegakan
hukum ini demi bangsa dan negara teristimewa menjadikan hukum sebagai panglima
tidak hanya slogan semata tetapi mewujudkannya secar murni dan konsekuen, yang
tentu dengan pengawalan yang ketat. Karenanya, demi tegaknya hukum secara
abersama sama kita mengikuti proses hukum yang berjalan sesuai ketentuan,
penyidik KPK menjalankan tugasnya memberantas korupsi dan melanjutkan perkara
tunggakannya, juga polri yang sedang menangani perkara, oknum pimpinan
komisioner KPK termasuk 21 penyidiknya melanjutkan hingga pengadilan memutuskan
bersalah atau tidak. Dengan demikian maka,harapan Hukum sebagai panglima akan
terwujud. Kita tunggu proses hukum tidak dalam kompromi atau lobby menutup
perkara. Ingat korbannya. Semoga.
0 PEMBERHENTIAN SUTARMAN MELANGGAR HUKUM
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Selasa, 24 Februari 2015
Mengangkat dan memberhentikan,
Kapolri dan Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden Republik Indonesia.
Namun oleh karena luasnya cakupan tugas dan tanggung jawab Kapolri, sesuai
perundang undangan yang berlaku, pengangkatan dan pemberhentiannya pun harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Ketentuan yang
mengatur melalui persetujuan DPR RI tidak lain ialah memberikan kesempatakan
kepada DPR RI mengawasi pelaksanaan Undang Undang agar tidak disalah gunakan
kewenangan itu bahkan lebih dari itu, agar kepolisian RI benar benar netral
tidak digunakan sebagai alat politik.
Pertanyaannya sekarang, apakah
usulan pemberhentian, Kapolri Jenderal Polisi Drs,Sutarman telah sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud dalam Undang Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian?
Jawabannya boleh tidak boleh ya. Pasalnya, dari usulan pemberhentian itu telah
menyalahi ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang Undang No 2
tahun 2002 tentang kepolisian Republik Indonesia.
Penjelasan ayat (2) dari pasal 11
Undang Undang No 2 tahun 2002 menyatakan, pemberhentian Kepala Polisis Republik
Indonesia dari jabatannya ialah, memasuki masa pensiun, atas permintaannya
sendiri, dihukum pidana dengan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Artinya diluar ketentuan itu maka Pemberhentiannya pun tidak dapat
dilaksanakan. Kini pemberhentian Sutarman menurut ketentuan itu tidak satu pun
yang dipenuhi, sebab, yang bersangkutan tidak mengundurkan diri, tidak dihukum
dan tidak pula memasuki masa pensiun karena masih sekitar 9 (sembilan ) bulan
dihitung dari Januari 2015. Pertanyaannya kemudian, mengapa DPR RI menyetujui
padahal diketahui bahwa alasan presiden tidak memenuhi syarat yang ditentukan
perundang undangan?
Banyak pihak memberi penilayan,
Usulan Presiden memberhentikan Sutarman ,dan akan digantikan Komjen Pol Drs
Budi Gunawan,SH.M.Si sebagai suatu keterpaksaan karena tekanan Partai
pengusungnya. Apakah itu benar atau tidak, Presiden yang tahu, tetapi yang pasti
suara sumbang atas hal itu pun bergema baik didunia maya maupun media cetak
yang selama satu bulan menghiasi pemberitaan. Sontak saja, KPK menetapkan Budi
Gunawan sebagai tersangka dugaan melakukan tindak pidana Gratifikasi. Penetapan
tersangka atas Budi Gunawan tanggal 12 Januari 2015, itu, Komisi Hukum DPR RI
yang semula menjadwalkan akan melakukan uji kelayakan terhadapnya tanggal 19
Januari 2015 dipercepat menjadi tanggal 14 Januari 2015,dan benar saja DPR
secara aklamasi minus Demokrat menyetujui usulan Presiden Republik Indonesia
yang dikirimkan melalui surat DPR No 01/DPR-RI/II/2015 tanggal 15 Januari 2015.
Pertanyaannya kemudian, kenapa
DPR RI sebagai lembaga yang mengawasi pelaksanaan dari Undang Undang itu
secepat kilat menyetujui, padahal diketahui benar bahwa usulan tersebut
bertentangan dengan Undang Undang? Dimanakah fungsi pengawasan sebagai salah
tugas DPR RI ? itulah masalahnya, para Anggota Dewan yang terhormat ini, suka
atau tidak suka, mau atau tidak mau mereka boleh jadi sebagai wakil rakyat yang
walapun dalam masalah ini sedemikian besar penolakan dari Rakyat, tetapi dengan
kedudukan mereka di Parlemen saat ini digunakan yang tentu dengan tujuan
tertentu pula. Apa gerangan tujuannya ?
Boleh jadi, DPR RI yang menerima usulan dari Presiden
RI Joko Widodo tentang penggantian
Kapolri dari Sutarman kepada Budi Gunawan, dan setelah penetapan calon
pengganti Kapolri itu ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, presiden tidak
berupaya menarik usulannya tersebut. Karenanya, DPR RI mungkin saja berpikir,
Presiden mendiamkan bola panas ditangan DPR RI karena tidak menarik usulan
tersebut. Dengan demikian boleh jadi , DPR RI pun melempar bola panas itu
kembali tangan Presiden RI. Gonjang
ganjing pun tak terelakkan, bahkan terjadi banyak laporan dugaan tindak pidana
yang dilakukan Komisoner KPK, apakah secara kebetulan bersamaan dengan kasus
penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK tetapi yang pasti 4 (empat)
tersisa pimpinan Komisoner KPK dilaporkan masyarakat dan 2 (dua) diantaranya
kini menjadi tersangka.
TEANG SEMENTARA ?
Komjen Pol, Budi Gunawan yang
ditetapkan tersangka oleh KPK mengajukan praperadilan kepengdilan Negeri
Jakarta Selatan. Permohonan itu dilayangkan karena ia merasa penetapannya
sebagai tersangka oleh KPK tidak sesuai perundang undangan yang berlaku. Hakim
,tunggal, Sarpin SH pun mengabulkan permohonan Budi Gunawan. Paska putusan yang
mengabulkan Gugatan Praperadilan Budi Gunawan, seharusnya Presiden Republik
Indonesia Joko widodo, tidak ada lagi beban untuk tidak melantiknya sebagai
Kapolri. Alasannya, secara politis, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
telah memberikan persetujuannya, lalu secara hukum ternyata, dinyatakan bahwa
penetapannya sebagai tersangka oleh KPK adalah tidak sah.
Apakah sejak awal memang Presiden
tidak menghndaki, Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri? Dan usulannya itu
hanya karena terpaksa akibat tekanan politik dari Partainya misalnya? Tidak
jelas. Namun yang pasti masalah Komjen Budi Gunawan sesungguhnya baik secara
politik maupun hukum kelar dan bersih , tetapi kenapa tidak melantiknya?
Presiden memilih tidak melantik,
Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, bahkan mengusulkan, Komjen Pol Drs,
Badodin Haiti yang kini wakil Kepala Polri sebagai calon tunggal. Usulan ini
nampaknya akan menuai masalah di Dewan Perwakilan Rakyat RI. Pasalnya,
penarikan atas usulan, Komjen Pol Budi Gunawan pun konon kabarnya belum pernah
dibatalkan dan atau ditarik, sudah diusulkan calon lain. Usulan pengganti ini
apakah karena DPR masih dalam reses sehingga belum ada pembahasan, namun yang
pasti banyak kalangan menilai sikap Presiden mengusulkan Badrodin Haiti
menciptakan ketenangan.
Kita berdoa, ketetangan ini tidak
sementara, tetapi seterusnya agar pembangunan untuk mensejahterakan rakyat
dapat dijalankan. Tetapi pelajaran bagi penyelenggara negara, bahwa jika
ternyata sedari awal telah menyalahi aturan dalam memutuskan sesuatu maka
keputusan itu tetap jadi masalah. Semoga tidak terulang.
0 PUPUS HARAPAN PEMBERANTASAN KORUPSI?
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Rabu, 18 Februari 2015
Abram Samad, Bambang widjojanto,
Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan duet yang tegas
dan ditakuti di Negeri ini sejak keduanya duduk menjadi Komisioner KPK. Betapa
tidak, sejak kepemimpinan kedua orang inilah Menteri aktif dan Jenderal aktif
dapat diseret kemuka sidang Tindak Pidana Korupsi. Kepemimpinan Jilid I dan
Jilid II belum pernah yang walapun rakyat banyak mengetahui tindak pidana
korupsi dikalangan atas. Karenanya, acap kali pendapat menyatakan, penegakan
hukum tumpul keatas, tajam kebawah.
Kedua sosok sosok yang yang rela
mewakafkan jiwa dan raganya demi pembersihan tindak pidana korupsi yang merusak
sendi sendi perekenomian bangsa ini, tanpaknya habis sudah. Bambang Widjojanto,
dan Abraham Samad kini berstatus sebagai tersangka. Bambang diduga telah
melakukan pemalsuan keterangan saksi dalam persidangan Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Waringin Barat. Sedangkan, Abraham Samad
diduga telah melakukan pemalsuan dokumen atas nama Feryani lim, seorang Gadis
dari Kalimantan yang juga diduga teman dekat Abraham Samad. Dengan status
tersangka, sesuai ketentuan perundang undangan keduanya harus diberhentikan
sementara dari tugas dan tanggung jawabnya selaku pimpinan Komisioner KPK.
Dua bentuk kasus pemalsuan yang
menjerat Bambang dan Abraham Samad ini menarik untuk dikaji dalam presfektif
penegakan hukum. Kasus Bambang widjojanto misalnya, dia diduga telah memberikan
arahan terhadap saksi yang diduga tidak sesuai yang merugikan termohon.
Karenanya dia dikenai pasal 242 KUHP jo pasal 55 KUHP. Terhadap keterangan
palsu ini memang, seorang Ibu di Kalbar telah
dihukum 3 bulan yang walapun
hingga kini ia merasa telah memberikan keterangan sesuai dengan apa yang
diketahuinya, dilihat dan dialaminya. Rumusan dugaan keterangan sumpah palsu di
muka sidang, seharusnya dapat dibuktikan jika Hakim yang menyidangkannya
menetapkan saksi itu telah memberikan keterangan palsu diatas sumpah. Selama
penetapan hakim tidak ada maka secara yuridis formal sumpah dan atau keterangan
palsu tidak pernah ada.
Pertanyaannya sekarang, apakah
dengan dinyatakan seorang Ibu yang mendapat ganjaran hukuman selama 3 bulan itu
dinilai sebagai bukti penetapan hakim bahwa ternyata keterangannya itu palsu?
Boleh jadi dijadikan dasar. Namun pertanyaannya kemudian, apakah dalam putusan
itu dinyatakan bahwa keterangan palsu tersebut diberikan akibat arahan atau
suruhan dari kuasa hukum yang dalam hal ini Bambang Widjojanto? Berita acara
persidangan yang dapat membuktikannya. Namun jika ternyata dalam persidangan
tidak terungkap fakta yang menyatakan, keterangan itu diberikan berdasarkan
arahan kuasa hukum semestinya kasus itu tidak dapat dinaikkan kepada
penuntutan.
Bambang widjojanto yang pada saat
itu tahun 2010 adalah menjalankan profesinya sebagai Advokat dan Pengacara yang
bertugas membela kliennya. Pasal 16
Undang Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2003 tentang Advokat menyatakan, Advokat tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas dan profesinya dengan itikad baik
untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan” untuk membuktikan apakah kuasa telah
menjalankan profesinya sesuai kode etik dan dengan itikad baik, semestinya
Organisasi advokat yang dalam hal ini Peradi yang harus terlebih dahulu
memeriksanya sesuai dengan Memorandum Of Understanding (MoU) Peradi dan Kapolri.
Oleh karena mekanisme yang
ditentukan ini tidak dijalankan, kini persepsi publik miring terhadap Polri.
Persepsi yang menyatakan Polri mengkriminalisasi KPK menjadi berita sehari hari
baik di Media massa maupun media sosial.
Alasan yang mendasar adalah, penetapan tersangka dan penangkapan yang
dilakukan Bareskrim Polri dinilai sebagai suatu balas dendam terkait penetapan
tersangka Komjen Pol BG yang diumumkan , Bambang dan Abraham Samad waktu itu. Boleh jadi memang Bareskrim yang melakukan
penangkapan dan memborgolnya sekalian sesuao SOP yang berlaku di Bareskrim
Polri sehingga tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar. Dalam ketentuan KUHAP
memang tidak ada mengatur tehnis ini, akan tetapi kelaziman sebagaimana telah
dijalankan selama ini adalah diawali dari pemanggilan, pertama, kedua, dan jika
tidak hadir maka diadakan pemanggilan paksa. Oleh karena prosedur kebiasaan itu
tidak dilaksanakan Polri , persepsi publik menjadi miring terhadap polri.
Abaraham Samad dan Bambang beda
kasus meski keduanya dinilai sebagai pemalsuan. Abraham Samad diduga memalsukan
dokumen atas nama Feryani Lim yang digunakan untuk persyaratan pengurusan
pasport. Abraham Samad memang membatah tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Penyidik berdasarkan bukti yang cukup telah menetapkannya sebagai tersangka.
Benarkah tuduhan itu pengadilanlah yang akan membuktikan. Tetapi yang pasti,
kedua Komisoner KPK ini kini menjadi tersangka, dan harus diberhentikan
sementara.
Presiden Republik Indonesia, Joko
widodo, Kamis 18 Februari 2015 mengumumkan akan menerbitkan Kepres
pemberhentian sementara, Bambang Widjojanto , dan Abraham samad sebagai
Komisioner KPK, dan selanjutnya akan menerbitkan Perpu untuk mengangkat , Prof
Indriyanto Seno Adji,Taufiqqurahman Ruki dan Johan Budi sebagai Pelaksana Tugas
Komisioner KPK hingga masa tugas Komisioner Desember 2015. Prof Dr Indriyanto
Seno Adji, yang akademisi ini juga pernah dikenal sebagai Kuasa hukum dalam
perkara Century, sedangkan Taufiqqurqhman Ruki, mantan Ketua KPK jilid pertama
yang dinilai tidak menggigit dan, Johan Budi masih dinilai baik dan mampu
bertindak tegas. Pertanyaannya sekarang, adakah kemampuan dalam arti kebranian,
Indriyanto dan Taufiqqurahman Ruki seperti yang ditunjukkan Bambang dan Abraham
Samad? untuk menindak dan mengusut tindak Pidana Korupsi yang sampai saat ini
masih meraja lela? Bayak meragukannya.
Kapasitas ketiga orang ini
sesungguhnya tidak diragukan lagi dalam hukum. Masalahnya sekarang soal
kebraniannya saja. Apakah seperti dahulu jaman kepemimpinan Taufiqqurahman
Ruki, seorang Kepala Dinas saja harus terlebih dahulu pensiun baru ditetapkan
sebagai tersangka seperti Rustam Effensi Sidabutar misalnya? Semoga dengan sistem
dan grakana yang telah dibuat, Abraham saham dan Bambang selama ini dapat ditingkatkan ketiga orang ini ditambah
dua orang yang sudah mapan di Komisoner KPK sekarang ini. Semoga kasus kasus
besar, BLBI,Century ,Rekening Gendut yang menarik perhatian masyarakat, seperti
janji Abraham Samad hingga Desember sudah masuk pengadilan. Semoga .
0 PENGGANTIAN KAPOLRI DILUAR PROSEDUR ?
By Bungaran Sitanggang SH.,MH on Sabtu, 14 Februari 2015
PENGGANTIAN KAPOLRI DILUAR PROSEDUR ?
Usulan persetujuan
pemberhentian Kapolri Jenderal Polisi, Sutarman dan persetujuan pengangkatan Komisaris Jenderal, Budi Gunawan
sebagai Kapolri yang baru diajukan Presiden Joko Widodo tanggal 09 Januari 2015 kepada DPR RI . Komisi Hukum DPR RI
mengagendakan melakukan fit and profer
Tes (Uji kelayakan) tanggal 19 Januari 2015. KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan
sebagai tersangka tindak pidana Gratifikasi. Komisi III DPR RI mempercepat
agendanya untuk melakukan Fit terhadap Komjen Pol Budi Gunawan menjadi 14
Januari 2015.
Hasil uji kelayakan yang
dilakukan Komisi III DPR RI itu pun menghasil persetujuan selanjutnya diajukan
ke paripurna semua sepakat menyetujui minus Anggota Partai Demokrat yang
sebelumnya menghendaki untuk ditunda. Pengajuan penggantian Kapolri tersebut
dan pembiaran tidak menarik pencalonannya meski sudah ditetapkan menjadi
tersangka, percepatan agenda uji kelayakan dari Komisi III menarik untuk
dikaji.
Pengangkatan seorang Kapolri
maupun Panglima TNI merupakan prerogatif Presiden. Namun khusus untuk Kapolri
dan Panglima TNI hak prerogatif ini sangat beda dengan menunjuk dan mengangkat
seorang Menteri Kabinet.Oleh karena bidang cakupan tugas dan kewenangan yang
diberikan Undang Undang terhadap Panglima TNI dan Kapolri maka, Presiden hendak
mengganti dua pimpinan ini wajib meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia(DPR-RI) Seandainya undang Undang tidak membatasi maka
bukan tidak mungkin, kedua Institusi itu akan dapat digunakan menjadi alat
kekuasaan oleh Presiden untuk menghabisi lawan lawan politiknya misalnya. Akan
tetapi oleh karena harus mendapatlan persetujuan dari DPR RI yang bertugas
mengawasi maka harapan kesetralannya pun menjadi tinggi.
Pertanyaannya sekarang, kenapa
DPR RI dapat dengan mudah menyetujui pemberhentian Jenderal Sutarman dari Jabatan Kapolri dan menyetujui Komjen
Budi Gunawan menjadi Kapolri ? bukan kah seharusnya DPR RI menjalankan Undang
Undang ? apakah dibalik persetujuan ini mempunyai agenda tersendiri secara
politik? Itu beberapa pertanyaan yang muncul terlebih hiruk pikuknya belakangan
antar KPK dan Polri seolah olah kedua Institusi penegak hukum ini adu kekuatan
yang membingungkan rakyat banyak.
Undang Undang Republik Indonesin
No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dalam pasal 11 ayat(2) menyatakan, usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri
diajukan oleh Presiden kepada DPR RI disertai dengan alasannnya.Dalam
penjelasan ayat (2) dari Undang Undang itu menyatakan’Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul
pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di Lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Usul
pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang
sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas
permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijajatuhi pidana
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat
menolak usul pemberhentian Kapolri maka Presiden menarik kembali usulannya, dan
dapat mengajukan kembali permintaan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan
berikutnya”
Kapolri saat itu, Jenderal
Polisi, Sutarman,masih belum menginjak usia pensiun, setidaknya masih ada waktu
9 bulan lagi untuk masa purna bhaktinya. Sedangkan Komjen Budi Gunawan yang
diusulkan Presiden , kemudian ditetapkan menjadi Tersangka oleh KPK tidsaak
menarik usulannya sehingga persetujuan
DPR RI punditerbitkan. Kini masalahnya menjadi-jadi dan menimbulkan banyak
persepsi dikalangan masyarakat. Disatu sisi menyatakan bahwa usulan
pemberhentian itu telah melanggar Undang Undang No 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian, dan disisi lain ada berpendapat, DPR-RI yang tergabung dalam
Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sengaja minus Demokrat ,
menyetujuinya meski diketahui sudah menjadi Tersangka untuk kepentingan politik
kelopoknya masing masing.
Pendapat yang menyatakan demi
kepentingan politik kelompok boleh jadi benar namun juga tidak. Sebab jika
ditinjau dari sisi sudut etika memang DPR RI boleh jadi tidak mengininkan
penolakan menjaga nama baik Presiden. Namun jika dilihat dari sudut ketentuan
yang terpenuhi syarat usulannya, dikaitkan dengan status Budi Gunawan yang
sudah menjadi Tersangka, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, selaku
wakil Rakyat yang sah, haruslah jeli melihat keadaan, selain karena sudah
menjadi Tersangka, yang utama ialah, bahwa sesungguhnya usulan perberhentian
itu pun wajib dipertanyakan dan ditolak karena tidak sesuai dengan ketentuan
perundang undangan yang berlaku.
Selain usulan dinilai telah
menyimpang dari Undang Undang No 2 tahun 2002 pasal 2 ayat (@) berikut
penjelasnnya juga calon yang diusulkan pun telah menjadi tersangka. Memang
dalam ketentuan hukum menyatakan, harus tetap berpegang pada asas praduga tidak
bersalah. Akan tetapi ketentuan lain sebagaibaga disebut oleh TAP MPR maupun
moran dan kepatutan, status tersangka itu merupakan alasan untuk menolaknya
untuk memberi peluang seluas luasnya yang bersangkutan dapat menyelesaikan
masalah hukum yang menjeratnya.
Kini masalahnya jadi lain. Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, rupanya tidak mempedulikan lagi Undang
Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian yang diatnya sendiri. Apakah terbawa
emosi, karena Presiden Republik Indonesia yang mengetahui status tersangka yang
baru saja ditetapkan KPK tidak menarik usulan itu dari DPR RI sehingga DPR RI
menerima dan menyetujuinya ? ataukah ada agenda politik terselubung pada
Koalisi KIH atau mungkin KMP dibalik persetujuannya itu ? hanya Dewan
Perwakilan Rakyat di dua kubi ini yang dapat menjawabnya. Semoga Presiden RI
Joko Widodo dapat segera menetapkan Kapolri yang devinitif yang tidak
bermasalah.
POLISI NAKAL TINDAK TEGAS
JAKARTA, bsa-lawoffice.blogspot.com — Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan karya Agung Bangsa Republik Indonesia.Sebab satu satu Hukum Acara yang berlaku secara nasional dengan mengedepankan hak hak tersangka maupun hak asasinya. Karya Agung oleh karena sebelum KUHAP yang diundangkan tahun 1981 itu berlaku sebagai hukum Acara adalah HIR . ...Read more...
JAKARTA, bsa-lawoffice.blogspot.com — Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan karya Agung Bangsa Republik Indonesia.Sebab satu satu Hukum Acara yang berlaku secara nasional dengan mengedepankan hak hak tersangka maupun hak asasinya. Karya Agung oleh karena sebelum KUHAP yang diundangkan tahun 1981 itu berlaku sebagai hukum Acara adalah HIR . ...Read more...
KPK Tangani Koruptor Terbanyak di DPR
JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang tahun 2010 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani kasus korupsi yang paling banyak dilakukan oleh anggota DPR, yaitu 26 orang. ...Read more...
JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang tahun 2010 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani kasus korupsi yang paling banyak dilakukan oleh anggota DPR, yaitu 26 orang. ...Read more...
sponsor
Ada Opsi Harga Permium Naik Rp 500
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah mewaspadai harga minyak dunia yang kini sudah 117,90 dollar AS per barrel. Menghadapi tekanan harga minyak atas anggaran subsidi bahan bakar, pemerintah antara lain mempertimbangkan opsi menaikkan harga premium sebesar Rp 500 menjadi Rp 5.000 per liter. ...Read more...
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah mewaspadai harga minyak dunia yang kini sudah 117,90 dollar AS per barrel. Menghadapi tekanan harga minyak atas anggaran subsidi bahan bakar, pemerintah antara lain mempertimbangkan opsi menaikkan harga premium sebesar Rp 500 menjadi Rp 5.000 per liter. ...Read more...
Semua Menteri PKS Siap Di-reshuffle SBY
RMOL. Empat kader PKS yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II telah menyatakan diri siap untuk di-reshuffle Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ...Read more...
RMOL. Empat kader PKS yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II telah menyatakan diri siap untuk di-reshuffle Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ...Read more...