Warga binaan adalah mereka yang
dihukum berdasarkan keputusan hukum berkekuatan tetap. Apapun kasusnya, baik
pelaku makar terhadap negara, pembunuhan, teroris ,narkoba dan pelaku tindak
pidana korupsi semuanya warga binaan dalam Lembaga Pemasyarakatan. Karenanya
perubahan penjara jaman dahulu kepada Lembaga pemasyarakatan berimplikasi
kepada pembinaan mental, ahlak kejiwaan untuk selanjutnya dapat berubah menjadi
warga yang baik, benar dan berguna bagi masyarakat bangsa dan negara. Sejalan
dengan itu, petugas Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia melakukan
pembinaan itu secara baik, kontinyu, baik dengan cara menghadirkan tokoh agama,
bimbingan doa ,serta pendidikan lainnya seperti
ketrampilan dan seterusnya dilakukan guna menjadikan narapidana itu sebagai
manusia yang baik yang tidak mungkin lagi mengulangi perbuatannya dikemudian
hari.
Sejalan dengan maksud
pembinaannya itu, pemerintah menerbitkan suatu ketentuan yang mengaturnya.
Namun perkembangangannya belakangan menjadi lain, yaitu pembinaan terhadap
pelaku Teroris,Narkoba dan Korupsi dibatasi melalui Peraturan Pemerintah No 99 tahun 2012 tentang
syarat dan tata cara hak warga binaan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut
dinyatakan pelaku tindak pidana, terorisme,Narkoba dan Korupsi dapat diberikan
remisi dan pembebasan bersyarat jika mau menjadi, justice colaborator, artinya mau bekerja sama dengan penegak hukum
untuk mengungkap perkara tersebut.
Kerja sama yang dimaksud ini
sesungguhnya dapat diartikan baik, tetapi juga bisa berakibat tidak baik jika
pelaksanaannya tidak hati hati. Pasalnya, bukan tidak mungkin seseorang
tersangka misalnya mengait –ngaitkan seseorang hanya karena pernah bersama,
turut dalam pertemuan padhal tidak mengetahui apa yang dibicarakan dan lain
sebagainya, terseret hanya untuk mendapatkan keringanan hukuman dan remisinya
kelak termasuk pembebasan bersyarat jika dipandang ia berkelakukan baik selama
di Lembaga Pemasyarakatan.
Pertanyaannya sekarang, apakah
adil menurut hukum membedakan tiga jenis pidana itu terhadap warga binaan
lainnya? Bukankah menyeret orang lain yang memang nyata tidak terlibat dalam
suatu tindak pidana misalnya hanya karena ingin mendapatkan perlakuan khusus
menarik pihak lain dianggap sebagai Justice Colaborator sehingga mendapat
pengurangan hukuman bahkan remisi dan kemudian pembebasan bersyarat?
Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia merencanakan pengaturan remisi ini secara adil kepada semua warga
binaan, namun mendapat tantangan dari penggerak anti korupsi termasuk KPK
sendiri. Banyak diantara mereka menilai, rencana pengaturan itu sebgai suatu
obral remisi. Berbagai pendapat sah sah saja dilontarkan siapapun juga, tetapi
pertanyaannya sekarang, bukankah pandangan itu sudah terlalu jauh mencampuri
urusan pihak lain? Apakah dengan tidak memberikan remisi terhadap tiga tindak
pidana itu diyakini mampu membuat efek jera? Jawabannya tentu belum tentu
benar. Sebab sekalipun seorang pelaku tindak pidana Narkoba misalnya telah
dihukum mati bahkan telah pula dieksekusi, apakah berkurang pelaku tindak pidana
terhadap perkara ini? Jawabannya juga tidak lah benar, terbukti semakin gencar
juga baik melalui Lapas, diluar lapas , termasuk tindak pidana korupsi semakin
ramapai disemua sektor.
Dari kenyataan seperti diatas,
tidak saja dalam bentuk pemberian remisi yang merupakan hak seorang terpidana,
tetapi dengan menghukum mati sekalipun tidak cukup signifikan membuat jera
terhadap tindak pidana ,Korupsi,Narkoba dan Terorisme ini. Kita harus berpikir
jernih memperlakukan mereka sesuai ketentuan tentang hak asasi Manusia. Seorang
terpidana misalnya apapun bentuk kasusnya, harus mendpatkan haknya sebagai
warga binaan, untuk dia sadari bahwa dia diperlakukan secara manusiawi dan
memberikan haknya itu sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan demikian maka
diharapkan yang bersangkutan sadar bahwa
negara turut memikirkannya jika ternyata benar benar ia berlaku baik
sesuai hasil pantauan Petugas lapas selama yang bersangkutan menjalani
hukumannya.
Penilaian berkaluan baik ini
memang banyak dikeluhkan keluarga binaan. Beberapa pemberitaan maupun dalam
berbagai diskusi yang dilakukan terungkap bahwa meski berkelakuan baik sesuai
fakta sehari hari, namun jika tidak ada pulus warga binaan yang beritikad baik
itu tidak akan mendapatkan remisi. Bahkan untuk bebas bersyarat pulusnya dikabarkan
semakin besar karena ia akan menghirup udara segar. Tetapi sebaliknya, dalam
pengertian baik sesusungguhnya tidak dapat diberikan kepada seseorang binaan,
tetapi oleh karena pulusnya lumayan banyak maka, diberikan surat penilayan luar
biasa baiknya. Akibat dari situasi ini bukan tidak mungkin warga binaan lain
pun apatis karena tidak akan mendapat remisi itu karena tidak mempunyai bayak
uang misalnya.
Nah, dari kenyataan diatas
sesungguhnya kita harus berpikir jernih
benar, bahwa setiap warga binaan mempunyai hak yang sama dengan warga binaan
lainnya tanpa membeda bedakannya. Terbukti dengan pembedaan itu mereka semakin
tidak ada harapan sebagai warga binaan, akibatnya bukan tidak mungkin mereka
berpikir tidak perlu berlaku baik, bahkan memberikan pencerahan baik terhadap
warga binaan lainnya. Boleh jadi seperti istilah mantan mantan narapidana yang
menyatakan, bahwa Tahanan, atau Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat kuliah
bagi mereka untuk jauh lebih canggih melakukan suatu tindak pidanan kelak.
Istilah ini sangat sering kita dengar, boleh jadi benar memang, terbukti
beberapa kasus tertentu misalnya, ia masuk karena terbawa atau ikut ikutan,
selanjutnya setelah menjalani hukuman ia bukannya baik tapi semakin jahat
bahkan pengetahuannya pun semakin tinggi setelah bergabung dengan teman lainnya
selama di Lapas.
Lalu bagaimana agar warga binaan
ini dapat berubah menjadi manusia yang baik setelah menjalani hukumannya? Tentu
banyak hal yang dapat dilakukan. Misalnya saja, setiap warga binaan apapun bentuk
kasusnya, hak haknya sebagai warga haruslah diperhatikan. Kedua, memberikan
penilayan terhadap warga binaan dilakukan oleh tim tertentu dengan mikanisme
kerja penyelidikan, wawancara, yang tentu terakhir meminta laporan harian dari
petugas lapas. Jika hanya bekal laporan Lapas maka dikhawatirkan penilayan
karena pendekatan tertentu bukan tidak mungkin terjadi, akibatnya yaitu tadi
warga binaan lainnya pun menjadi apatis.
Posting Komentar