Kewenangan Penyidik untuk
melakukan penahanan terhadap seseorang tersangka yang disidik karena diduga
telah melakukan suatu tindak pidana seringkali dinilai masyarakat umum sebagai
suatu tindakan pemaksaan yang dapat dilakukannya dengan penilayan yang
subyektif bukan objek tif. Ketentuan dalam Kitab U&ndang UndangHukum Acara
Pidana( KUHAP) memang menyatakan bahwa
penyidik dapat melakukan penahanan terhadap seorang tersangka yang disidiknya.
Kata dapat disini tidaklah secara otomatis, tetapi penahanan itu dilakukan jika dinilai tersangka akan melarikan diri
misalnya, yang dapat mempersulit pemeriksaan, atau menghilangkan barang bukti,
yang dapat mempersulit pembuktian di muka sidang, atau mengilangi perbuatannya. Demikian tegas sesungguhnya
diatur dalam KUHAP, tetapi sudah dijalankan sesuai ketentuan itu?.
Ada banyak kasus yang disidik,
baik ditingkat penyidik Polri, Kejaksaan seorang tersangka yang diduga telah
melakukan suatu tindak pidana langsung ditahan tanpa membuktikan seorang
tersangka itu misalnya belum terbukti hendak mempersulit pemeriksaan, hendak
menguaalngi perbuatannya dan atau merencanakan menghilangkan barang bukti.
Katakan saja, Ny asyah, nenek tua yang diduga melakukan pencurian kayu di
Sidoarjo Jawa Timur. Mungkin kah sang Nenek itu hendak mengulangi perbuatannya?
Atau menghilangkan barang bukti dan atau akan melarikan diri? Sehingga harus
ditahan baik oleh Penyidik dan kejaksaan? Jawabannya tentu unsur –unsur itu
tidak terpenuhi. Sebab selain nenek tua tersebut adalah seorang wanita yang
lugu, sudah ujur dan dipastikan tidak berdaya untuk melakukan sesuatu yang
dapat mempersulit pemeriksaan dan atau menghilangkan barang bukti.
Ada banyak kasus memang
seharusnya tidak dapat ditahan, akan tetapi penyidik seringkali melakukan
penahanan terhadap tersangka tersebut. Beda misalnya seorang Begal yang ramai
saat ini, kasus pembunuhan dan perkara pidana tertangkap tangan yang
membahayakan umum. Tetapi dalam kasus kasus tertentu seperti kasus pencurian
dalam keluarga misalnya, dan perkara yang dialami Ny asyah sesungguhnya tidak
memerlukan penahanan jikalau penyidik secara fair memberikan penilayan, tidak
akan melarikan diri, karena sudah terlalu tua, misalnya, tidak akan mengulangi
perbuatannya, oleh karena bukan profesinya atau bukan karena sudah beberapa
kali kedapatan melakukannya dan juga tidak akan menghilangkan barang bukti,
karena dia tidak mempunyai kemampuan untuk itu.
HARUS DIATUR LEBIH TEGAS
Terhadap penahanan ini memang,
ketentuan perundang undangan memberikan kewenangan terhadap penyidik untuk
melakukan penahanan dan tidak melakukan penahanan terhadap seorang tersangka
yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Namun kewenangan yang diatur di
dalam ketentuan KUHAP tersebut harusnya dipertegas misalnya melalui peraturan
Jaksa Agung, Kapolri atau Keputusan Mahkamah Agung sehingga tidak ditafsirkan
lain daripada yang sesungguhnya Ambil contoh Perma Mahkamah Agung RI No 2 tahun 2012 diterbitkan
MA sebagai jawaban atas kasus yang diributkan saat itu yaitu kasus, Ny Minah, yang diduga mencuri tiga kakao di Jawa Timur dan seorang anak yang diduga mencuri sandal di
palu. Pasal 363 KUHP tentang pencurian memang diancam dengan hukum 5 tahun
pencara yang juka menggunakan kekerasan dihukumlebih tinggi lagi. Penahanan
terhadap tersangka sekali lagi kata dapat dilakukan jika ancaman hukum diatas
lima thau. Ketentuann itu digunakan penyidik.
Oleh karena penahan itu
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku maka, penyidik yang melakukan penahan
itu benar tidak salah. Apa yang salah dalam penahan itu, ialah rasa keadilan
mamsyarakat. Karena itu, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 2 tahun
201 menyatakan pidana ringan dengan
kerugian dibawah Rp 2,5 juta tidaka perlu ditahan. Perma ini baik karena
memberikan perlindungan, tapi sayang oleh karena dalam perma tersebut tidak
tegas mengaturnya hanya bentuk himbawan
bukan tidak mungkin penyidik akan
mengatakan peratuan Mahakamh Agung itu
berlaku bagi kehakiman tidak secara otomatis berlaku bagi penyidik.
Jika ternyata penyidik memberikan
suatu penilayan seperti diatas boleh jadi dia benar adanya. Sebab seandainya
pun Perma secara tegas misalnya menyatakan tidak dapat ditahan, bukan tidak
mungkin penyidik akan mengatakan bahwa ketentuan itu berlaku bagi lingkungan
peradilan atau Kehakiman tetapi tidak berlaku bagi penyidik. Nah jika suat peraturan
MA itu tidak secara ategas ketentuan mengatur maka tidak mungkin dapat
diberlakukan secara umum. Bukankah Mah Kamah Agung selaku peradilan
tertinggi wajib membentuk dan menemukan hukum jika didalam suatu ketentuan
belum cukup mengaturnya? Bukankah juga MA mempunyai kewajiban memberikan
kepastian hukum dan keadilan untuk menjamin hak hak seorang ? tentu jawabanya
ya, bukan hanya MA tetapi semua hakim ditingkat pengadilan negeri, Tinggi wajib
memberikan keadilan kepada setiap orang yang dihadapkan kepadanya berdasarkan
hukum.
KUHAP KARYA AGUNG BANGSA
Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) diakui sebagai satu satunya karya bangsa Republik Indonesia
dalam ketentuan yang mengatur beracara
dalam pidana. Sebagai karya agung
bangsa, Kuhap ini sesungguhnya harus diturut dan di taati oleh semua penegak
hukum khususnya para penyidik. Sebab dalam KUHAP ini telah menegaskan dan,
jelas apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan. Artinya,
dalam ketentuan itu telah mengatur batas batas yang dapat dilakukan dan tidak
dapat dilakukan oleh penyidik manapun di Republik ini. Karenanya, siapapun
harusnya tunduk dan taat terhadap ketentuan yang telah membatasinya. Namun oleh
karena dalam ketentuan itu tidak adas
sanksi bagi pelanggarnya maka, penilayan secara subyektifitasnya menjadi
terpenting tidak peduli aturan yang membatasinya.
Sebut saja misalnya pasal 72
KUHAP, dalam ketentuan ini menyatakan,
bahwa seorang tersangka yang disidik oleh penyidik wajib mendapatkan satu
turunan hasil Berita Acara Pemeriksaan terhadap dirinya untuk persiapan
pembelaannya. Tetapi leluasakah seorang tersangka mendapatkan turunan ini? Jawabannya tidak. Sebab meski telah berulangkali diminta tersangka
atau kuasanya misalnya, seringkali penyidik tidak memberikannya, dengan suatu
alasan rahasia negara. Memang tidak semua penyidik melakukan itu banyak penyidik
lain yang sadar dan menjujung tinggi hak asasi manusia,yang memperhatikan hak
hak seorang tersangka itu. Mereka yang sadar dan menghormati ketuan ini, meski
tersangkanya tidak meminta, penyidik yang sadar ini memberikanya sendiri.
Kembali soal penahanan yang
banyak menilai seorang tersangka diluar Tipikor yang sangat subyektif sebagaimana
disebutkan diatas, karenanya dalam pembahasan RUU tentang KUHP dan KUHAP yang
kini masuk dalam prolegnas Dewan
Perwakilan Rakyat haruslah benar benar
memperhatikan secara tegas ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban termasuk
sanksi yang tegas baik terhadap penyidik maupun tersangka, yang melakukan pelanggaran
itu. Jika ketentuan itu disusun secara tegas dan sanksi yang tegas pula maka ,
harapan masa depan penegakan hukum khususnya penahanan tidak dijadikan alat
pengekangan misalnya atau alat politik bahkan akan dapat meminimais tindakan
pelanggaran hukum lainnya. Dengan demikian maka penahan seorang tersangka yang
diduga melakukan suatu tindak pidana, adalah terpaksa karena berdasarkan bukti
bukti nyata melakukan suatu pelanggaran yang disyaratkan dalam ketentuan
perundang undangan tetapi bukan tujuan. Itulah harapan masyarakat terhadap
aparat penegak hukum berdasarkan keadilan.
Posting Komentar