Mengangkat dan memberhentikan,
Kapolri dan Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden Republik Indonesia.
Namun oleh karena luasnya cakupan tugas dan tanggung jawab Kapolri, sesuai
perundang undangan yang berlaku, pengangkatan dan pemberhentiannya pun harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Ketentuan yang
mengatur melalui persetujuan DPR RI tidak lain ialah memberikan kesempatakan
kepada DPR RI mengawasi pelaksanaan Undang Undang agar tidak disalah gunakan
kewenangan itu bahkan lebih dari itu, agar kepolisian RI benar benar netral
tidak digunakan sebagai alat politik.
Pertanyaannya sekarang, apakah
usulan pemberhentian, Kapolri Jenderal Polisi Drs,Sutarman telah sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud dalam Undang Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian?
Jawabannya boleh tidak boleh ya. Pasalnya, dari usulan pemberhentian itu telah
menyalahi ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang Undang No 2
tahun 2002 tentang kepolisian Republik Indonesia.
Penjelasan ayat (2) dari pasal 11
Undang Undang No 2 tahun 2002 menyatakan, pemberhentian Kepala Polisis Republik
Indonesia dari jabatannya ialah, memasuki masa pensiun, atas permintaannya
sendiri, dihukum pidana dengan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Artinya diluar ketentuan itu maka Pemberhentiannya pun tidak dapat
dilaksanakan. Kini pemberhentian Sutarman menurut ketentuan itu tidak satu pun
yang dipenuhi, sebab, yang bersangkutan tidak mengundurkan diri, tidak dihukum
dan tidak pula memasuki masa pensiun karena masih sekitar 9 (sembilan ) bulan
dihitung dari Januari 2015. Pertanyaannya kemudian, mengapa DPR RI menyetujui
padahal diketahui bahwa alasan presiden tidak memenuhi syarat yang ditentukan
perundang undangan?
Banyak pihak memberi penilayan,
Usulan Presiden memberhentikan Sutarman ,dan akan digantikan Komjen Pol Drs
Budi Gunawan,SH.M.Si sebagai suatu keterpaksaan karena tekanan Partai
pengusungnya. Apakah itu benar atau tidak, Presiden yang tahu, tetapi yang pasti
suara sumbang atas hal itu pun bergema baik didunia maya maupun media cetak
yang selama satu bulan menghiasi pemberitaan. Sontak saja, KPK menetapkan Budi
Gunawan sebagai tersangka dugaan melakukan tindak pidana Gratifikasi. Penetapan
tersangka atas Budi Gunawan tanggal 12 Januari 2015, itu, Komisi Hukum DPR RI
yang semula menjadwalkan akan melakukan uji kelayakan terhadapnya tanggal 19
Januari 2015 dipercepat menjadi tanggal 14 Januari 2015,dan benar saja DPR
secara aklamasi minus Demokrat menyetujui usulan Presiden Republik Indonesia
yang dikirimkan melalui surat DPR No 01/DPR-RI/II/2015 tanggal 15 Januari 2015.
Pertanyaannya kemudian, kenapa
DPR RI sebagai lembaga yang mengawasi pelaksanaan dari Undang Undang itu
secepat kilat menyetujui, padahal diketahui benar bahwa usulan tersebut
bertentangan dengan Undang Undang? Dimanakah fungsi pengawasan sebagai salah
tugas DPR RI ? itulah masalahnya, para Anggota Dewan yang terhormat ini, suka
atau tidak suka, mau atau tidak mau mereka boleh jadi sebagai wakil rakyat yang
walapun dalam masalah ini sedemikian besar penolakan dari Rakyat, tetapi dengan
kedudukan mereka di Parlemen saat ini digunakan yang tentu dengan tujuan
tertentu pula. Apa gerangan tujuannya ?
Boleh jadi, DPR RI yang menerima usulan dari Presiden
RI Joko Widodo tentang penggantian
Kapolri dari Sutarman kepada Budi Gunawan, dan setelah penetapan calon
pengganti Kapolri itu ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, presiden tidak
berupaya menarik usulannya tersebut. Karenanya, DPR RI mungkin saja berpikir,
Presiden mendiamkan bola panas ditangan DPR RI karena tidak menarik usulan
tersebut. Dengan demikian boleh jadi , DPR RI pun melempar bola panas itu
kembali tangan Presiden RI. Gonjang
ganjing pun tak terelakkan, bahkan terjadi banyak laporan dugaan tindak pidana
yang dilakukan Komisoner KPK, apakah secara kebetulan bersamaan dengan kasus
penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK tetapi yang pasti 4 (empat)
tersisa pimpinan Komisoner KPK dilaporkan masyarakat dan 2 (dua) diantaranya
kini menjadi tersangka.
TEANG SEMENTARA ?
Komjen Pol, Budi Gunawan yang
ditetapkan tersangka oleh KPK mengajukan praperadilan kepengdilan Negeri
Jakarta Selatan. Permohonan itu dilayangkan karena ia merasa penetapannya
sebagai tersangka oleh KPK tidak sesuai perundang undangan yang berlaku. Hakim
,tunggal, Sarpin SH pun mengabulkan permohonan Budi Gunawan. Paska putusan yang
mengabulkan Gugatan Praperadilan Budi Gunawan, seharusnya Presiden Republik
Indonesia Joko widodo, tidak ada lagi beban untuk tidak melantiknya sebagai
Kapolri. Alasannya, secara politis, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
telah memberikan persetujuannya, lalu secara hukum ternyata, dinyatakan bahwa
penetapannya sebagai tersangka oleh KPK adalah tidak sah.
Apakah sejak awal memang Presiden
tidak menghndaki, Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri? Dan usulannya itu
hanya karena terpaksa akibat tekanan politik dari Partainya misalnya? Tidak
jelas. Namun yang pasti masalah Komjen Budi Gunawan sesungguhnya baik secara
politik maupun hukum kelar dan bersih , tetapi kenapa tidak melantiknya?
Presiden memilih tidak melantik,
Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, bahkan mengusulkan, Komjen Pol Drs,
Badodin Haiti yang kini wakil Kepala Polri sebagai calon tunggal. Usulan ini
nampaknya akan menuai masalah di Dewan Perwakilan Rakyat RI. Pasalnya,
penarikan atas usulan, Komjen Pol Budi Gunawan pun konon kabarnya belum pernah
dibatalkan dan atau ditarik, sudah diusulkan calon lain. Usulan pengganti ini
apakah karena DPR masih dalam reses sehingga belum ada pembahasan, namun yang
pasti banyak kalangan menilai sikap Presiden mengusulkan Badrodin Haiti
menciptakan ketenangan.
Kita berdoa, ketetangan ini tidak
sementara, tetapi seterusnya agar pembangunan untuk mensejahterakan rakyat
dapat dijalankan. Tetapi pelajaran bagi penyelenggara negara, bahwa jika
ternyata sedari awal telah menyalahi aturan dalam memutuskan sesuatu maka
keputusan itu tetap jadi masalah. Semoga tidak terulang.
Posting Komentar