Bungaran Sitanggang SH.,MH Associates. Diberdayakan oleh Blogger.

0 PERSETERUAN AHOK VS DPRD DKI, KPK DAN ANGKET BERPACU.


Perseteruan, Basuki Tjahaya Purnama, (Ahok), Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD DKI Jakarta sejak ditinggal Joko Widodo yang menjadi Presiden Rwepublik Indonesia kini terus berlanjut. Ahok yang pada saat itu menjabat wakil Gubernur sudah dipersoalkan. Masalahnya, Ahok dinilai cpas ceplos tanpa memperhitungkan kata kata yang akan dilontarnya, bahkan mungkin meninggung perasaan pihak lain. Undang Undang menegaskan sebagai wakil jika Gubernurnya berhalangan dan atau mengundurkan diri maka, wakil otomatis menjadi Gubernurnya. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, Basuki Tjahaya Purnama pun dilantik Presiden sebagai Gubernur devinitif tiga bulan yang lalu.
Menjadi Gubernur, Ahok, rupanya tidak berubah sikap dalam pandangannya khususnya statmen-statemennya. Boleh jadi memang, ia ditempa dengan terbuka, tanpa teding aling-aling dalam menyatakan suatu pendapatnya, teristimewa hendak memberangus tindak pidana korupsi dilingkungan pemda DKI Jakarta yang menjadi tanggung jawabnya. Ada banyak hal memang telah dilakukan, baik pembinaan internal , mengurangi janbatan yang dianggap tidak perlu, muaranya adalah mengirit biaya, yang walapun disisi lain dia memberikan gaji luar biasa kepada pegawainya yang baik membuat beberapa Daerah lain iri hati. Namun ada banyak pula berpandangan pemberian insentif tinggi dapat dijadikan alasan memacu kinerja yang baik dan menghindari tindak pidana korupsi.
Itikad baik Ahok terus dilakukan, namun rupanya sisa sisa amarah keduanya, baik Ahok sendiri maupun anggota DPRD DKI masih tersimpan. Boleh jadi memang, Ahok kerap kali menyatakan sikap berseberanmgan dengan DPRD nya, bahkan menuduhnya yang macam macam yang ditanggapi sebagian anggota di DPRD yang menjadi mitranya itu, sebagai bentuk penghinaan dan lain sebagainya.
Pembahasan APBD yang mestinya disahkan November-Desember 2014, tertunda akhirnya dapat diselesaikan Januari. Nah inilah puncak masalah antara Gubernur DKI dengan DPDRD. Pasalnya, Ahok mera beberapa item yang tidak diusulkan masuk dalam RAPBDP. Merasa tidak mengusukannya, Ahok tidak mengirimkan APBDP itu ke Mendagri, tetapi mengirimkan yang sebelumnya. Sedangkan DPDRD menilai, berkas yang dikirim Ahok itu tidak sah. Sebab selain tidak ada tanda tangan Ketua, tidak pernah dibahas bersama DPRD dengan Gubernur. Terhadap pernyataan DPRD ini Ahok pun menanggapinya bahwa RAPBD yang dimaksud DPRD tersebut terdapat dana siluman diluar usulannya, karena itu ia pun tidak mau.
ANGKET DAN LAPOR KPK.
Dewan Perwakilan Rakyat DKI Jakarta yang merasa dibohongi Ahok itu pun membentuk hak angket. Anggota DPRD semuanya menandatangani angket itu dengan membentuk tim sebanyak 33 orang menyedikinya. Searah dengan pembentukan angket itu, Basuki Tjahaya Purnama, yang sebelumnya mengancam akan melaporkan DPRD kini diwujudkannya. Didampingi beberapa stafnya, Ahok pun melaporkan dugaan dana siluman yang terdapat dalam APBDPnya ke KPK Jumat 27 Februari 2015. Usai menerima laporan tersebut , kepada wartawan, Johan Budi, mengatakan ada indikasi dana siluman dalam RAPBD tersebut.

KPK dan Angket kejar kejaran membuktikan kinernyanya. Hak Angket yang dibentuk berdasarkan penetapan Ketua DPRD DKI itu diberikan waktu selama 2 bulan. Nah dalam 2 bulan ini, 33 anggota angket bekerja untuk membuktikan pelanggarannya Ahok. Bagaimana dengan dugaan tidak pidana korupsinya? KPK yang sudah menyatakan ada indikasi harus dapat menyidik kasus itu dengan waktu yang sesingkat singkatnya untuk membuktikan secara hukum, ada atau tidak pidananya. Ditinjau dari sisi hukum tipikor, dengan pernyataan Wakil KPK tersbut nampaknya tidak sulit membuktikan. Sebab dalam rumusan tindak pidana korupsi menyatakan, berpotensi untuk merugikan negara sekali pun sudah terbukti menurut hukum, jadi tidak memerlukan kerugian yang nyata (fisik)

Seandainya Angket lebih dahulu membuktikan penyelidikannya, dan seterusnya dialnjutkan kepada pemakjulan Ahok atau sebaliknya, KPK dapat membuktikan selanjutnya ke Pengadilan apa yang terjadi. Demi tegaknya hukum, dan bagian pembelajaran kepada para Pejabat maupun Dewan masing masing kasus itu berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Angket secara pilitik dilanjut hingga tuntas sesuai ketentuan tanpa asa dendam kecuali kebenaran yang nyata, sementara KPK yang akan menydik kasus itu mempercepat spitnya untuk kepastian hukum demi keadilan. Marilah bersama sama kita kawal dan cermati pelaksanannya sebagai bagian dari kontrol terhadap penyelenggara negara.
Read more

0 PENEGAKAN HUKUM OLEH POLRI KRIMINALISASI?


Proses penegakan hukum terhadap,laporan dugaan tindak pidana yang diduga dilakukan,pimpinan KPK nonaktif, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, termasuk terlapor, dua komisioner lainnya dan 21 penyidik KPK menuai banyak protes dari masyarakat. Penetapan trsangkat atas diri, Abraham Samad, Bambang Widjojanto dan pemeriksaan terhadap terlapor lainnya dinilai upaya pemberangusan KPK yang mendapat kepercayaan banyak dari masyarakat sebagai suatu lembaga yang mampu menunjukkan kinerjanya untuk memberantas korupsi.
Pandangan negatif terhadap Kepolisian yang menjalankan tugas dan fungsinya dalam menegakkan hukum itu pun tak terelakkan. Alasannya, tak lama setelah KPK menetapkan Kmojen Pol Budi Gnawan sebagai tersangka dugaan gratifikasi, penangkapan terhadap Bambang Widjojanto dilakukan, Bareskrim Polri. Penangkapan itu banyak menilai diluar prosedur oleh karena Bareskrim Polri belum pernah melayangkan panggilan terhadap yang bersangkutan sebagaimana lazimnya dalam suatu tindak pidana diluar tertangkap tangan.
Kenapa sedemikian rupa persepsi negatif kebanyakan masyarakat terhadap Polri, hingga menganggap Polri mengadakan kriminalisasi terhadap KPK ? persepsi itu muncul mengaitkan beberapa peristiwa sebelumnya, yaitu, kasus Buaya versus Cicak, yang sempat menetapkan, Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto, Candra Hamzah sebagai tersangka. Dan untuk Irjon Pol Joko Susilo yang ditetapkan tersangka dalam kasus Simulator Korlantas, Penyidik dari Bengkulu datangi  Kantor KPK untuk menangkap Novel Basweden penyidik KPK yang menangani Joko Susilo. Untuk kasus Buaya vs Cicak didevonering atas perintah Presiden waktu itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedangkan untuk Novel Basweden, SBY menyatakan waktunya tidak tepat.
HUKUM HARUS DITEGAKKAN
Polri sebagai penyidik tunggal terhadap tindak Pidana Umum , dalam perkara ini sesungguhnya telah melakukan tugasnya secara benar. Sebab setiap laporan yang masuk tentanga dugaan adanya suatu tondak pidana, Polri wajib menindak lanjutinya. Masalah waktu, boleh jadi lambat dan juga dipercepat tergantung kesiapan penyidik, namun yang pasti semua perkara pidana yang dilaporkan kepadanya selama belum lewat waktu (kedaluwarsa) tetap ditindak lanjuti. Sebut saja misalnya, Novel Baswedan , yang penah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penembakan mengakibatkan orang meninggal dunia ketika ia menjabat kasat reskrim di Bengkulu, yang sempat dihentikan sementara atas pemikiran SBY waktu itu sebagai Presiden yang menyatakan waktunya kurang tepat, kini dilanjutkan. Penghentian sementara penyidikan terhadap, Novel Baswedan, bukan berarti Penyidik menghentikan penyidikannya, tetapi hanya waktu kurang tepat menurut SBY waktu itu.
Boleh jadi,Polri merasa kini  waktunya melanjutkan kasus, Novel Baswedan. Masalahnya jika sebelumnya dihentikan sementara , bukan berarti Penyidik mendiamkan begitu saja kasus itu, hanya karena Novel sebagai penyidik di KPK, Polri pun berhitung kepada waktu jangan sampai kedaluwarsa mengakibatkan tidak ada kepastian hukum. Demikian juga terhadap BW dan AS termasuk 21 penyidik lainnya harus tetap dilanjutkan demi tegaknya hukum. Persepsi yang timbul dimasyarakat yang menyatakan Polri hendak melumpuhkan KPK, mungkin berlebihan, karena Polri sendiri telah mempersiapkan 50 penyidik ahli membantu KPK. Nah, dari sisi ini apakah benar ada niat polri memberangus KPK sebagai penegak hukum? Jawabannya tentu tidak berdasar.

Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, tentu harus juga instrospeksi dan berbenah atas penyidik-penyidiknya yang seringkali masih kurang taat terhadap pelaksanaan ketentuan undang undang. Sebut saja misalnya hak hak seorang tersangka, dimanapun, kapan pun wajib diberi kebebasan untuk dikunjungi kuasanya . Demikian juga haknya untuk mendapatkan turunan Berita Acara Pemeriksaan atas dirinya selaku tersangka menurut pasal 72 KUHAP wajip pula diberikan. Namun seringkali, penyidik menganggap turunan BAP itu sebagai raha sia negara sehingga belum dapat diberikan. Boleh jadi memang, berkas perkara secara keseluruhan merupakan rahasia yang tidak dapat dibuka penyidik sebelum dimuka sidang pengadilan, akan tetapi khusus turunan BAP atas diri tersangka seketika itu wajib diberikan.
Polri selaku penegak hukum harus taat menegakkan hukum termasuk juga hak hak tersangka yang sedang disidik. Jika ketulusan dan ketaatan itu dapat dilaksanakan penyidik, persepsi negatif yang berlebihan seperti saat ini mungkin tidak terjadi, bahkan kepercayaan masyarakat semkin tinggi. Karenanya marilah bersama sama mengawal penegakan hukum ini demi bangsa dan negara teristimewa menjadikan hukum sebagai panglima tidak hanya slogan semata tetapi mewujudkannya secar murni dan konsekuen, yang tentu dengan pengawalan yang ketat. Karenanya, demi tegaknya hukum secara abersama sama kita mengikuti proses hukum yang berjalan sesuai ketentuan, penyidik KPK menjalankan tugasnya memberantas korupsi dan melanjutkan perkara tunggakannya, juga polri yang sedang menangani perkara, oknum pimpinan komisioner KPK termasuk 21 penyidiknya melanjutkan hingga pengadilan memutuskan bersalah atau tidak. Dengan demikian maka,harapan Hukum sebagai panglima akan terwujud. Kita tunggu proses hukum tidak dalam kompromi atau lobby menutup perkara. Ingat korbannya. Semoga.


Read more

0 PEMBERHENTIAN SUTARMAN MELANGGAR HUKUM


 Mengangkat dan memberhentikan, Kapolri dan Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden Republik Indonesia. Namun oleh karena luasnya cakupan tugas dan tanggung jawab Kapolri, sesuai perundang undangan yang berlaku, pengangkatan dan pemberhentiannya pun harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Ketentuan yang mengatur melalui persetujuan DPR RI tidak lain ialah memberikan kesempatakan kepada DPR RI mengawasi pelaksanaan Undang Undang agar tidak disalah gunakan kewenangan itu bahkan lebih dari itu, agar kepolisian RI benar benar netral tidak digunakan sebagai alat politik.
Pertanyaannya sekarang, apakah usulan pemberhentian, Kapolri Jenderal Polisi Drs,Sutarman telah sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Undang Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian? Jawabannya boleh tidak boleh ya. Pasalnya, dari usulan pemberhentian itu telah menyalahi ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang Undang No 2 tahun 2002 tentang kepolisian Republik Indonesia.
Penjelasan ayat (2) dari pasal 11 Undang Undang No 2 tahun 2002 menyatakan, pemberhentian Kepala Polisis Republik Indonesia dari jabatannya ialah, memasuki masa pensiun, atas permintaannya sendiri, dihukum pidana dengan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya diluar ketentuan itu maka Pemberhentiannya pun tidak dapat dilaksanakan. Kini pemberhentian Sutarman menurut ketentuan itu tidak satu pun yang dipenuhi, sebab, yang bersangkutan tidak mengundurkan diri, tidak dihukum dan tidak pula memasuki masa pensiun karena masih sekitar 9 (sembilan ) bulan dihitung dari Januari 2015. Pertanyaannya kemudian, mengapa DPR RI menyetujui padahal diketahui bahwa alasan presiden tidak memenuhi syarat yang ditentukan perundang undangan?
Banyak pihak memberi penilayan, Usulan Presiden memberhentikan Sutarman ,dan akan digantikan Komjen Pol Drs Budi Gunawan,SH.M.Si sebagai suatu keterpaksaan karena tekanan Partai pengusungnya. Apakah itu benar atau tidak, Presiden yang tahu, tetapi yang pasti suara sumbang atas hal itu pun bergema baik didunia maya maupun media cetak yang selama satu bulan menghiasi pemberitaan. Sontak saja, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan melakukan tindak pidana Gratifikasi. Penetapan tersangka atas Budi Gunawan tanggal 12 Januari 2015, itu, Komisi Hukum DPR RI yang semula menjadwalkan akan melakukan uji kelayakan terhadapnya tanggal 19 Januari 2015 dipercepat menjadi tanggal 14 Januari 2015,dan benar saja DPR secara aklamasi minus Demokrat menyetujui usulan Presiden Republik Indonesia yang dikirimkan melalui surat DPR No 01/DPR-RI/II/2015 tanggal 15 Januari 2015.
Pertanyaannya kemudian, kenapa DPR RI sebagai lembaga yang mengawasi pelaksanaan dari Undang Undang itu secepat kilat menyetujui, padahal diketahui benar bahwa usulan tersebut bertentangan dengan Undang Undang? Dimanakah fungsi pengawasan sebagai salah tugas DPR RI ? itulah masalahnya, para Anggota Dewan yang terhormat ini, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau mereka boleh jadi sebagai wakil rakyat yang walapun dalam masalah ini sedemikian besar penolakan dari Rakyat, tetapi dengan kedudukan mereka di Parlemen saat ini digunakan yang tentu dengan tujuan tertentu pula. Apa gerangan tujuannya ?
Boleh jadi,  DPR RI yang menerima usulan dari Presiden RI  Joko Widodo tentang penggantian Kapolri dari Sutarman kepada Budi Gunawan, dan setelah penetapan calon pengganti Kapolri itu ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, presiden tidak berupaya menarik usulannya tersebut. Karenanya, DPR RI mungkin saja berpikir, Presiden mendiamkan bola panas ditangan DPR RI karena tidak menarik usulan tersebut. Dengan demikian boleh jadi , DPR RI pun melempar bola panas itu kembali tangan Presiden RI.  Gonjang ganjing pun tak terelakkan, bahkan terjadi banyak laporan dugaan tindak pidana yang dilakukan Komisoner KPK, apakah secara kebetulan bersamaan dengan kasus penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK tetapi yang pasti 4 (empat) tersisa pimpinan Komisoner KPK dilaporkan masyarakat dan 2 (dua) diantaranya kini menjadi tersangka.
TEANG SEMENTARA ?
Komjen Pol, Budi Gunawan yang ditetapkan tersangka oleh KPK mengajukan praperadilan kepengdilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan itu dilayangkan karena ia merasa penetapannya sebagai tersangka oleh KPK tidak sesuai perundang undangan yang berlaku. Hakim ,tunggal, Sarpin SH pun mengabulkan permohonan Budi Gunawan. Paska putusan yang mengabulkan Gugatan Praperadilan Budi Gunawan, seharusnya Presiden Republik Indonesia Joko widodo, tidak ada lagi beban untuk tidak melantiknya sebagai Kapolri. Alasannya, secara politis, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah memberikan persetujuannya, lalu secara hukum ternyata, dinyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka oleh KPK adalah tidak sah.
Apakah sejak awal memang Presiden tidak menghndaki, Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri? Dan usulannya itu hanya karena terpaksa akibat tekanan politik dari Partainya misalnya? Tidak jelas. Namun yang pasti masalah Komjen Budi Gunawan sesungguhnya baik secara politik maupun hukum kelar dan bersih , tetapi kenapa tidak melantiknya?
Presiden memilih tidak melantik, Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, bahkan mengusulkan, Komjen Pol Drs, Badodin Haiti yang kini wakil Kepala Polri sebagai calon tunggal. Usulan ini nampaknya akan menuai masalah di Dewan Perwakilan Rakyat RI. Pasalnya, penarikan atas usulan, Komjen Pol Budi Gunawan pun konon kabarnya belum pernah dibatalkan dan atau ditarik, sudah diusulkan calon lain. Usulan pengganti ini apakah karena DPR masih dalam reses sehingga belum ada pembahasan, namun yang pasti banyak kalangan menilai sikap Presiden mengusulkan Badrodin Haiti menciptakan ketenangan.

Kita berdoa, ketetangan ini tidak sementara, tetapi seterusnya agar pembangunan untuk mensejahterakan rakyat dapat dijalankan. Tetapi pelajaran bagi penyelenggara negara, bahwa jika ternyata sedari awal telah menyalahi aturan dalam memutuskan sesuatu maka keputusan itu tetap jadi masalah. Semoga tidak terulang.
Read more

0 PUPUS HARAPAN PEMBERANTASAN KORUPSI?


Abram Samad, Bambang widjojanto, Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan duet yang tegas dan ditakuti di Negeri ini sejak keduanya duduk menjadi Komisioner KPK. Betapa tidak, sejak kepemimpinan kedua orang inilah Menteri aktif dan Jenderal aktif dapat diseret kemuka sidang Tindak Pidana Korupsi. Kepemimpinan Jilid I dan Jilid II belum pernah yang walapun rakyat banyak mengetahui tindak pidana korupsi dikalangan atas. Karenanya, acap kali pendapat menyatakan, penegakan hukum tumpul keatas, tajam kebawah.
Kedua sosok sosok yang yang rela mewakafkan jiwa dan raganya demi pembersihan tindak pidana korupsi yang merusak sendi sendi perekenomian bangsa ini, tanpaknya habis sudah. Bambang Widjojanto, dan Abraham Samad kini berstatus sebagai tersangka. Bambang diduga telah melakukan pemalsuan keterangan saksi dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Waringin Barat. Sedangkan, Abraham Samad diduga telah melakukan pemalsuan dokumen atas nama Feryani lim, seorang Gadis dari Kalimantan yang juga diduga teman dekat Abraham Samad. Dengan status tersangka, sesuai ketentuan perundang undangan keduanya harus diberhentikan sementara dari tugas dan tanggung jawabnya selaku pimpinan Komisioner KPK.
Dua bentuk kasus pemalsuan yang menjerat Bambang dan Abraham Samad ini menarik untuk dikaji dalam presfektif penegakan hukum. Kasus Bambang widjojanto misalnya, dia diduga telah memberikan arahan terhadap saksi yang diduga tidak sesuai yang merugikan termohon. Karenanya dia dikenai pasal 242 KUHP jo pasal 55 KUHP. Terhadap keterangan palsu ini memang, seorang Ibu di Kalbar telah  dihukum 3  bulan yang walapun hingga kini ia merasa telah memberikan keterangan sesuai dengan apa yang diketahuinya, dilihat dan dialaminya. Rumusan dugaan keterangan sumpah palsu di muka sidang, seharusnya dapat dibuktikan jika Hakim yang menyidangkannya menetapkan saksi itu telah memberikan keterangan palsu diatas sumpah. Selama penetapan hakim tidak ada maka secara yuridis formal sumpah dan atau keterangan palsu tidak pernah ada.
Pertanyaannya sekarang, apakah dengan dinyatakan seorang Ibu yang mendapat ganjaran hukuman selama 3 bulan itu dinilai sebagai bukti penetapan hakim bahwa ternyata keterangannya itu palsu? Boleh jadi dijadikan dasar. Namun pertanyaannya kemudian, apakah dalam putusan itu dinyatakan bahwa keterangan palsu tersebut diberikan akibat arahan atau suruhan dari kuasa hukum yang dalam hal ini Bambang Widjojanto? Berita acara persidangan yang dapat membuktikannya. Namun jika ternyata dalam persidangan tidak terungkap fakta yang menyatakan, keterangan itu diberikan berdasarkan arahan kuasa hukum semestinya kasus itu tidak dapat dinaikkan kepada penuntutan.
Bambang widjojanto yang pada saat itu tahun 2010 adalah menjalankan profesinya sebagai Advokat dan Pengacara yang bertugas membela kliennya. Pasal 16  Undang Undang Republik Indonesia No 18  tahun 2003 tentang Advokat menyatakan, Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas dan profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan”  untuk membuktikan apakah kuasa telah menjalankan profesinya sesuai kode etik dan dengan itikad baik, semestinya Organisasi advokat yang dalam hal ini Peradi yang harus terlebih dahulu memeriksanya sesuai dengan Memorandum Of Understanding (MoU) Peradi dan Kapolri.
Oleh karena mekanisme yang ditentukan ini tidak dijalankan, kini persepsi publik miring terhadap Polri. Persepsi yang menyatakan Polri mengkriminalisasi KPK menjadi berita sehari hari baik di Media massa maupun media sosial.  Alasan yang mendasar adalah, penetapan tersangka dan penangkapan yang dilakukan Bareskrim Polri dinilai sebagai suatu balas dendam terkait penetapan tersangka Komjen Pol BG yang diumumkan , Bambang dan Abraham Samad waktu itu.  Boleh jadi memang Bareskrim yang melakukan penangkapan dan memborgolnya sekalian sesuao SOP yang berlaku di Bareskrim Polri sehingga tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar. Dalam ketentuan KUHAP memang tidak ada mengatur tehnis ini, akan tetapi kelaziman sebagaimana telah dijalankan selama ini adalah diawali dari pemanggilan, pertama, kedua, dan jika tidak hadir maka diadakan pemanggilan paksa. Oleh karena prosedur kebiasaan itu tidak dilaksanakan Polri , persepsi publik menjadi miring terhadap polri.
Abaraham Samad dan Bambang beda kasus meski keduanya dinilai sebagai pemalsuan. Abraham Samad diduga memalsukan dokumen atas nama Feryani Lim yang digunakan untuk persyaratan pengurusan pasport. Abraham Samad memang membatah tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Penyidik berdasarkan bukti yang cukup telah menetapkannya sebagai tersangka. Benarkah tuduhan itu pengadilanlah yang akan membuktikan. Tetapi yang pasti, kedua Komisoner KPK ini kini menjadi tersangka, dan harus diberhentikan sementara.
Presiden Republik Indonesia, Joko widodo, Kamis 18 Februari 2015 mengumumkan akan menerbitkan Kepres pemberhentian sementara, Bambang Widjojanto , dan Abraham samad sebagai Komisioner KPK, dan selanjutnya akan menerbitkan Perpu untuk mengangkat , Prof Indriyanto Seno Adji,Taufiqqurahman Ruki dan Johan Budi sebagai Pelaksana Tugas Komisioner KPK hingga masa tugas Komisioner Desember 2015. Prof Dr Indriyanto Seno Adji, yang akademisi ini juga pernah dikenal sebagai Kuasa hukum dalam perkara Century, sedangkan Taufiqqurqhman Ruki, mantan Ketua KPK jilid pertama yang dinilai tidak menggigit dan, Johan Budi masih dinilai baik dan mampu bertindak tegas. Pertanyaannya sekarang, adakah kemampuan dalam arti kebranian, Indriyanto dan Taufiqqurahman Ruki seperti yang ditunjukkan Bambang dan Abraham Samad? untuk menindak dan mengusut tindak Pidana Korupsi yang sampai saat ini masih meraja lela? Bayak meragukannya.
Kapasitas ketiga orang ini sesungguhnya tidak diragukan lagi dalam hukum. Masalahnya sekarang soal kebraniannya saja. Apakah seperti dahulu jaman kepemimpinan Taufiqqurahman Ruki, seorang Kepala Dinas saja harus terlebih dahulu pensiun baru ditetapkan sebagai tersangka seperti Rustam Effensi Sidabutar misalnya? Semoga dengan sistem dan grakana yang telah dibuat, Abraham saham dan Bambang selama ini  dapat ditingkatkan ketiga orang ini ditambah dua orang yang sudah mapan di Komisoner KPK sekarang ini. Semoga kasus kasus besar, BLBI,Century ,Rekening Gendut yang menarik perhatian masyarakat, seperti janji Abraham Samad hingga Desember sudah masuk pengadilan. Semoga .



Read more

0 PENGGANTIAN KAPOLRI DILUAR PROSEDUR ?

PENGGANTIAN KAPOLRI DILUAR PROSEDUR ?

 Usulan  persetujuan pemberhentian Kapolri Jenderal Polisi, Sutarman dan persetujuan  pengangkatan Komisaris Jenderal, Budi Gunawan sebagai Kapolri yang baru diajukan Presiden Joko Widodo tanggal 09 Januari 2015  kepada DPR RI . Komisi Hukum DPR RI mengagendakan  melakukan fit and profer Tes (Uji kelayakan) tanggal 19 Januari 2015. KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka tindak pidana Gratifikasi. Komisi III DPR RI mempercepat agendanya untuk melakukan Fit terhadap Komjen Pol Budi Gunawan menjadi 14 Januari 2015.
Hasil uji kelayakan yang dilakukan Komisi III DPR RI itu pun menghasil persetujuan selanjutnya diajukan ke paripurna semua sepakat menyetujui minus Anggota Partai Demokrat yang sebelumnya menghendaki untuk ditunda. Pengajuan penggantian Kapolri tersebut dan pembiaran tidak menarik pencalonannya meski sudah ditetapkan menjadi tersangka, percepatan agenda uji kelayakan dari Komisi III menarik untuk dikaji.
Pengangkatan seorang Kapolri maupun Panglima TNI merupakan prerogatif Presiden. Namun khusus untuk Kapolri dan Panglima TNI hak prerogatif ini sangat beda dengan menunjuk dan mengangkat seorang Menteri Kabinet.Oleh karena bidang cakupan tugas dan kewenangan yang diberikan Undang Undang terhadap Panglima TNI dan Kapolri maka, Presiden hendak mengganti dua pimpinan ini wajib meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia(DPR-RI) Seandainya undang Undang tidak membatasi maka bukan tidak mungkin, kedua Institusi itu akan dapat digunakan menjadi alat kekuasaan oleh Presiden untuk menghabisi lawan lawan politiknya misalnya. Akan tetapi oleh karena harus mendapatlan persetujuan dari DPR RI yang bertugas mengawasi maka harapan kesetralannya pun menjadi tinggi.
Pertanyaannya sekarang, kenapa DPR RI dapat dengan mudah menyetujui pemberhentian Jenderal Sutarman  dari Jabatan Kapolri dan menyetujui Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri ? bukan kah seharusnya DPR RI menjalankan Undang Undang ? apakah dibalik persetujuan ini mempunyai agenda tersendiri secara politik? Itu beberapa pertanyaan yang muncul terlebih hiruk pikuknya belakangan antar KPK dan Polri seolah olah kedua Institusi penegak hukum ini adu kekuatan yang membingungkan rakyat banyak.
Undang Undang Republik Indonesin No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dalam pasal 11 ayat(2) menyatakan, usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada DPR RI disertai dengan alasannnya.Dalam penjelasan ayat (2) dari Undang Undang itu menyatakan’Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijajatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya”

Kapolri saat itu, Jenderal Polisi, Sutarman,masih belum menginjak usia pensiun, setidaknya masih ada waktu 9 bulan lagi untuk masa purna bhaktinya. Sedangkan Komjen Budi Gunawan yang diusulkan Presiden , kemudian ditetapkan menjadi Tersangka oleh KPK tidsaak menarik usulannya sehingga  persetujuan DPR RI punditerbitkan. Kini masalahnya menjadi-jadi dan menimbulkan banyak persepsi dikalangan masyarakat. Disatu sisi menyatakan bahwa usulan pemberhentian itu telah melanggar Undang Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, dan disisi lain ada berpendapat, DPR-RI yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sengaja minus Demokrat , menyetujuinya meski diketahui sudah menjadi Tersangka untuk kepentingan politik kelopoknya masing masing.
Pendapat yang menyatakan demi kepentingan politik kelompok boleh jadi benar namun juga tidak. Sebab jika ditinjau dari sisi sudut etika memang DPR RI boleh jadi tidak mengininkan penolakan menjaga nama baik Presiden. Namun jika dilihat dari sudut ketentuan yang terpenuhi syarat usulannya, dikaitkan dengan status Budi Gunawan yang sudah menjadi Tersangka, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, selaku wakil Rakyat yang sah, haruslah jeli melihat keadaan, selain karena sudah menjadi Tersangka, yang utama ialah, bahwa sesungguhnya usulan perberhentian itu pun wajib dipertanyakan dan ditolak karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku.
Selain usulan dinilai telah menyimpang dari Undang Undang No 2 tahun 2002 pasal 2 ayat (@) berikut penjelasnnya juga calon yang diusulkan pun telah menjadi tersangka. Memang dalam ketentuan hukum menyatakan, harus tetap berpegang pada asas praduga tidak bersalah. Akan tetapi ketentuan lain sebagaibaga disebut oleh TAP MPR maupun moran dan kepatutan, status tersangka itu merupakan alasan untuk menolaknya untuk memberi peluang seluas luasnya yang bersangkutan dapat menyelesaikan masalah hukum yang menjeratnya.

Kini masalahnya jadi lain. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, rupanya tidak mempedulikan lagi Undang Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian yang diatnya sendiri. Apakah terbawa emosi, karena Presiden Republik Indonesia yang mengetahui status tersangka yang baru saja ditetapkan KPK tidak menarik usulan itu dari DPR RI sehingga DPR RI menerima dan menyetujuinya ? ataukah ada agenda politik terselubung pada Koalisi KIH atau mungkin KMP dibalik persetujuannya itu ? hanya Dewan Perwakilan Rakyat di dua kubi ini yang dapat menjawabnya. Semoga Presiden RI Joko Widodo dapat segera menetapkan Kapolri yang devinitif yang tidak bermasalah.
Read more
 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger