Bungaran Sitanggang SH.,MH Associates. Diberdayakan oleh Blogger.

0 PENGESAHAN UNDANG UNDANG PILKADA MENUAI PROTES


Perdebatan terhadap Rancangan Undang Undang (RUU) Pilkada kini usai ditingkat pembuat Undang Undang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pengesahan RUU menjadi Undang Undang tentang Pilkada itu ditetapkan melalui voting Jumat subuh oleh DPR RI. Ada banyak memang yang protes atas pemilihan Bupati dan Walikota itu melalui DPRD. Tetapi banyak juga yang mendukung pemilihan itu melalui DPRD. Berbagai alasan dari dua kubu itu pun dilontarkan untuk mempertahankan argumentasinyamasing masing. Dari dua cara pemilihan tersebut menarik disimak memang, mana yang terbaik untuk Republik sesuai dengan Konstitusi kita.
Pemilihan langsung oleh Rakyat terhadap calon pemimpinnya, merupakan inplementasi  kedaulatan rakyat secara penuh salah satu tuntutan reformasi 1998. Sebab selama 32 tahun kepemimpinan Presiden Soeharto, hak seperti itu tidak pernah diberikan. Tujuan pemilihan langsung ini sesungguhnya ialah memberikan kedaulatan rakyat itu kepada rakyat sepenuh penuhnya  untuk memilih dan  menetukan pemimpinnya untuk lima tahun kedepan. Pemilihan langsung dan pemilihan melalui DPRD keduanya sesuai konstitusi, dan keduanya berpotensi bermasalah. Hanya saja mana lebih ringan atau yang lebih baik untuk republik itulah  soalnya.
Pemilihan langsung  yang sudah dilaksanakan  sejak tahun 2005, hingga 2013 memang  seluruh rakyat  daerah bersangkutan memang dihargai. Mereka didatangi untuk memperkenalkan diri, meberikan  pencerahan, pemahaman kehadirannya untuk berniat membangun dan mensejahterakan rakyat daerah itu. Jika dalam suatu Daerah ada empat atau lima bahkan tujuh pasang bakal calon dan atau calon, semuanya melakukan hal yang sama kepada rakyat di Daerah itu. Dan rakyat pun menerimanya tanpa kita ketahui sikap mereka kepada siapa.
Memang dinilai sebagai suatu yang tidak mendidik, bahkan boleh dikatakan sebagai sarana menghambur hamburkan uang yang tentu bermanfaat bagi rakyat. Tetapi dampak yang dihasilkannya amat sangat negatif, oleh karena  setiap ada calon tertentu misalnya, mereka tidak akan segan bertanya berapa dananya. Nah jika sudah seperti ini, rakyat banyak memilih bukan karena visi dan misinya lagi akan tetapi cenderung sudah melihat uangnya. Boleh jadi memang dibeberapa daerah masih banyak rakyat republik yang konsisten, bahkan diberikan uangpun tidak mau karena dia telah ada pilihan tertentu. Akan tetapi jika tidak diberikan pengertian lama kelamaan upeti itu pun menjadi membuadaya, jika hal ini terjadi rusaklah moral.
Beberapa  Kepala Daerah yang tersangkut hukum belakangan dikait kaitkan dengan pemilihan langsung Kepala Daerah. Alasannya, besarnya biaya yang digelontorkan sang calon yang cukup besar yaitu, mulai dari pembentukan tim dengan biayanya, alat peraga, pertemuan pertemuan khusus dan lain misalnya seperti merebut Partai pengusung yang diamini semua partai sebagai ongkos politik. Ratusan Bupati dan Walikota yang dipilih secara langsung dikabarkan sedikitnya 80 persen dikabarkan harus menggelontorkan biaya minimal  5 – sampai 25 milyar rupiah. Bahkan ada berita menyatakan sampai 50 milyar sedangkan untuk Gubernur dikabarkan ratusan milyar. Karenanya para Kepala DaerahSelain dariPola pola seperti yang tersangkut hukum tindak pidana korupsi itu pun dianggap  harus melakukannya untuk mengembalikan modal yang dikeluarkannya, atau mungkin membayar hutang dan lain istilah yang disebutkan.
Nah kini dengan pemilihan kepala Daerah melalui DPRD ? mungkin dapat diminimais pengeluaran, selain pengeluaran dari APBD misalnya, juga pengeluaran calon bersangkutan pun akan terkontrol. Bukan berarti  pemilihan melalui DPRD dapat dijamin tidak ada money politik. Money politik disini terbatas pada anggota DPRD bersangkutan yang harus dilakukan juga pendekatan agar mereka meilihnya. Pemilihan melalui DPRD  disini barang kali telah lebih mudah mengontrolnya untuk menghindari money politik. Untuk menghindarinya tentu ketentuan yang lebih tegas harus dibuat dengan sanksi yang tegas pula. Sebab ketegasan penegak hukum akan mampu meminimais kecurangan dan atau money politik yang terjadi selama ini jika pemilihan melalui DPRD . Sebab banyak pihak yang mengontrolnya misalnya  masyarakat, LSM termasuk tim dari pesaingnya pun turut mengontrol yang akan tertuju kepada DPRD. Sangat beda dengan dimasyarakat. Contohnya saja sengketa  Pilkada yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi dengan aneka ragam pelanggarannya termasuk money politik merupakan bukti  pemilihan langsung banyak masalah .
Selain dari masalah –masalah money politik yang tidak mendidik tersebut, perpecahan dalam lingkurang keluarga p[un tidak jarang terjadi hanya karena beda pilihan dalam Pemilu kada selama ini. Tidak saja itu akan tetapi juga hubungan sesama menjadi kurang harmonis bahkan tidak jarang terjadi memicu pertikayan antar pendukung.
Kini dengan pemilihan melalui DPRDin mungkin terbaik dalam kondisi saat ini, sesuai juga keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, sengketa Pilkada sudah tidak menjadi kewenangannya lagi untuk memeriksanya. Lalu seandainya pemilihan langsung Kepala Daerah ini dipertahankan, dan terjadi sengketa kemana harus dibawa untuk mendapat kepastian? Itu juga menjadi masalah tersendiri seandainya Keputusan DPR RI tidak menetapkan pemilihan Kepala Daerah tersebut melalui DPRD.
Dengan undanga Undang tentang pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD marilah kita turut mengontrol pelaksanaanya untuki menghindari money politik. Jika ternyata juga Partai menjadi raja yang terbukti menerima upeti misalnya untuk mendukung seseorang calon, jangan pula segan sega partai tersebut didiskualifikasi sebagai peserta pemilu berikutnya. Jika sank seperti itu tegas dan tegas pula dalam pelaksanaanya, maka, harapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD akan berjalan damia tanpa money politik.


Read more
 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger