Bungaran Sitanggang SH.,MH Associates. Diberdayakan oleh Blogger.

0 AKIL MUKTAR DAN HAMDAN JULFA




Pengakuan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar,tentang kesimpulan panel terkait sengketa Pilkada Jawa Timur kini jadi bahan perbincangan hangat masyarakat umum. Pasalnya, tiga Hakim Konstitusi yang  menjadi anggota panel yang dipimpin,Akli Mochtar saat itu mengaku, bahwa kesimpulan panel tersebut telah memutuskan mengabulkan permohonan Khofifah Indar Prawansa- herman S Sumawiredja. Hamdan Zoelva pun membantah.
Pengakuan dan bantahan yang disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi, Handan Zoelva menarik untuk dicermati. Alasannya, karena, Hamdan Zoelva tidak termasuk dalam tim Panel yang menyidangkan kasus sengketa Pilkda Jawa Timur. Adapun Tim pimpinan ,Akil Mochtar saat itu ialah,Akil sendiri, Maria Farida Indrati dan Anwar Usman. Namun Handan Zoelva menyatakan bahwa meskipun Panel yang melakukan pemeriksaan tetapi Rapat Pleno Hakim (RPH) yang mengambil keputusan.
Sengketa Pilkada Jawa Timur itu memang sempat menghangat di permukaan, karena setelah tertangkap, Akil Mochtar, tersiar berita bahwa, Akil pernah meminta 10 milyar melalui Ketua DPD Golkar Jawa Timur jika hendak dimenangkan. Meski diakui kemudian bahwa permintaan itu sebagai bercanda, tetapi yang pasti, Ketua DPD Golkar Jawa Timur itu pun menyampaikan permintaan itu kepada Soekarwo.
Mungkinkah karena belum dibayar sehingga terjadi kesimpulan Panel mengabulkan permohonan Khfifah ? atau memang sewajarnya Kofifah harus dimenangkan berdasarkan fakta kemudian, Akil Mochtar dihubungi dari pihak DPD Golkar Jawa Timur sehingga meminta sebesar 10 milyar ? hanya mereka para pihak pihak yang mengetahuinya. Tetapi yang pasti masyarakat kini menduga keduanya mungkin benar.
Terlepas siapa yang benar dalam masalah tersebut, yang menjadi perhatian kita semua ialah, ternyata Hakim Konstitusi tak ubahnya seperti Jaksa. Kejaksaan misalnya, Jaksa X yang bersidang dan mengetahui fakta yang terungkap dalam persidangan, tetapi Jaksa bersangkutan tidak mempunyai kapasitas untuk menetukan tuntutannya. Ia harus mengajukan rencana tuntutannya kepada atasan dan dari atasannyalah muncul suatu angka tertentu.
Hakim Konstitusi pun demikian ternyata, tiga orang panel yang memeriksa dan mengetahui fakta persidangan, sementara lainnya tidak memahami fakta itu tetapi keputusan haruslah atas Rapat Pleno Hakim. Rapat Pleno Hakim itu boleh jadi dilakukan namun keputusan yang akan diambil seyogyanya berdasarkan kesimpulan dari Panel, karena merekalah yang mengetahui fakta-fakta persidangan sesungguhnya. Nah jika ternyata karena kalah suara misalnya bukan tidak mungkin hasil Panel mentah yang mengakibatkan tidak ada kepastian hukum.
Terkait masalah pengakuan,Akil Mochtar, diatas, Ketua Mahkamah Konstitusi, Handan Zoelva, menyatakan bahwa tidak ada catatan dan atau laporan adanya kesimpulan Panel hendak mengabulkan permohonan Khofifah. Karena itu, keputusan akhir yang diambilnya pun berdasarkan Rapat Pleno Hakim Konstitusi.
Otto Hasibuan, kuasa hukum Khofifah saat itu yang juga sebagai kuasa hukum, Akil mochtar  mengaku bahwa pada sidang tanggal 2 Desember 2013 sorenya telah diadakan rapat panel. Hasil Panel saat itu 2;1 artinya, dua diantaranya menmyatakan mengabulkan permohonan Khfifah dan satu boleh jadi tidak atau abtein.Jikalau demikian tentunya keputusan yang memenangkan Soekarwo pun menjadi masalah.Itulah mungkin sebabnya Otto Hasibuan meminta kemendagri untuk tidak melantik Soekarwo Saifullah karena dinilai putusan tersebut cacad hukum.
Bagaimanakah dilakoni kolektif kolegial di Mahkamah Konstitusi ? dimana kepastian hukum jika ternyata keputusan ditetapkan atas dasar Rapat Pleno Hakim? Bukankah pleno itu hanya sebagai forum terkahir tetapi yang akan diputuskan dari hasil Panel yang secara riil memeriksa dan mengetahui fakta hukum . selayaknya ia. Semoga perdebatan,Akil Mochtar dan Handan Zoelva berakhir.
Read more
 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger