Bungaran Sitanggang SH.,MH Associates. Diberdayakan oleh Blogger.

0 EKSEKUSI PUTUSAN JAKSA DAN MA SALING MENCURIGAI?.

Jaksa selain sebagai penuntut Umum juga selaku eksekutor atas putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan tetap. Ketentuan itu tertuang  dalam Ketentuan Kitab Undang Undang Hukum acara Pidana (KUHAP) satu satunya hukum acara Pidana karya agung republik Indonesia.Pertanyaannya sekarang, putusan yang mana yang harus dijalankan Jaksa selaku pelaksana putusan hakim,apakah keputusan hukum setelah diterima secara lengkap,atau cukup dengan selembar pemberitahuan yang disebut ekstrak vonnis itu ?
Dua orang pejabat negara yang dihukum berdasarkan putusan Mahkamah agung republik Indonesia itu adalah,,Gubernur Bengkulu nonaktif,Ir Agusrin Nazamuddin,dihukum selama 4 tahun dan Bupati Subang nonaktif, Eep Hidayat, dihukum selama 5 tahun penjara. Gubernur  Bengkulu n onaktif semula dibebaskan Pengadilan tipkor Jakarta Pusat, sedangkan, Bupati Subang nonaktif,Eep Hidayat dibebaskan oleh Pengadilan tipikor Jawa Barat. Mahkamah agung menghukum keduanya karena dinilai terbukti bersalah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi.Vonnis yang dijatuhkan Mahkamah Agung itu pun telah memberitahukan keputusan tersebut kepada Pengadilan tingkat pertama yang memeriksa dan mengadilinya untuk selanjutnya disampaikan kepada Kejaksaan selaku eksekutornya.
Ketua muda Mahkamah agung  pun mempertanyakan,kenapa Jaksa belum melaksanakan putusan atas,kedua perkara tersebut. Selain mengirim pemberitahuan melalui Pengadilan yang memeriksa tingkat pertama, Mahkamah Agung juga telah mengirimkan melalui fax. Tujuannya mungkin agar Pengadilan tingkat pertama dapat dengan segera memberitahukannya kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dapat mengeksekusinya.Namun Kejaksaan Agung tampaknya belum bersedia  melaksanakan eksekusi terhadap terhukum hanya dengan ekstrak vonnis,tetapi harus menerima putusan resmi atas perkara tersebut.
Kejaksaan kini masih menunggu putusan Mahkamah Agung secara resmi tidak hanya ekstrak vonnis untuk selanjutnya dapat dilaksanakan .Sebab ekstrak vonnis dapat dianggap sebagai sekedar pemberitahuan belaka yang bukan merupakan vonnis hakim resmi sebagaimana layaknya. Dari sudut pandang hukum formal memang Kejaksaan ada benarnya.Pasalnya,Kejaksaan boleh jadi harus  hati hati melaksanakan eksekusi terhadap terhukum jika belum membaca putusan yang menghukummnya secara lengkap.Keraguan itu mungkin disebabkan adanya beberapa kasus yang pernah terungkap tentang putusan  yang diduga palsu yang pernah beredar misalnya beberapa waktu yang lalu.
SALING TIDAK PERCAYA ?
Kedua kasus diatas menarik untuk dikaji lebih mendalam,sebab selain kesan saling mencurigai juga tidaklah sepatutnya polemik itu muncul kemermukaan.Mahkamah Agung pun sesungguhnya  harus memahami posisi Kejaksaan selaku pelaksanan putusan hakim yang tidak mungkin mengeksekusi hanya dengan ekstrak vonnis.Dari sisi ini nampaknya Kejaksaan hendak menunjukkan sikap dan ketaatannya dalam hukum. Sementara Mahkamah Agung  mempertanyakan sikap Kejaksaan yang belum melaksanakan putusan itu ,karena MA merasa, ekstrak vonnis  yang dikirim selama ini sudah dilaksanakan. Berdasarkan kebiasaan itu memang wajar,  bila muncul kecurgiaan yang menyatakan ada apa sehingga ekstrak vonnis itu tidak dilaksanakan kejaksaan.
Berbagai pertanyaan pun jadi muncul pada masalah ini.Misalnya saja, ada apa Mahkamah Agung Republik Indonesia harus merasa kebakaran jenggot belum dieksekusinya kedua terhukum?.Bukankah ponnis atas kedua pejabat negara nonaktif itu baru dijatuhkan putusan, Januari 2012, yang nota bene baru berusia lebih kurang satu bulan dan masih dalam pengoreksian? Bukankah juga petikan atas keputusan tersebut masih dalam persiapan minutnya di Mahkamah Agung untuk selanjutnya dapat dikirim secara lengkap ke Pengadilan ? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang disimpulkan kalangan masyarakat, bahwa kedua Lembaga penegak hukum ini terkesan saling mencurigai.
Dari polemik tentang pelaksanaan putusan ini, seyogyanya masing masing dapat mengoreksi diri sendiri.Misalnya saja, Kejaksaan pun mestinya konsisten, tidak akan mau mengeksekusi seseorang  hanya berdasarkan ekstrak vonnis, tetapi haruslah melalui petikan keputusan resmi yang dikirimkan pengadilan Negeri .Demikian juga Mahkamah agung ,tidak memaksakan Jaksa harus mengeksekusi putusan itu hanya dengan pemberitahuan.Adalah benar, putusan itu telah dijatuhkan Hakim Agung  sebagaimana dalam pemberitahuan, tetapi hal itu adalah bersifat pemberitahuan yang tidak putusan resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang undangan yang berlaku.  
Perkara Gubernur Bengkulu nonaktif,Ir Agusrin Nazamuddin, ini memang menarik perhatian masyararakat .Sebab pembebasan dirinya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ketika itu membuat orang bertanya tanya, kenapa dapat bebas, padahal fakta faktanya jelas. Selidik punya selidik, ternyata belakangan salah satu Hakim yang memeriksa dan mengadilinya, kemudian tertangkap menerima suap dalam kasus kepailitan.Memang tidak ada bukti pembebasan Agusrin yang ditangani hakim yang ditangkap itu, tetapi dikaitkan berbagai pihak pembebasan itu beraoma tidak sedap.
Ternyata memang benar, putusan yang membebaskan,Agusrin Nazamuddin, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan tipikor Jawa Barat itu dinilai kurang tepat. Buktinya , Mahkamah Agung Republik Indonesia  ,menjatuhkan hukuman selama 4 Tahun untuk, Agusrin Nazamuddin, Gubernur Bengkulu nonaktif dan 5 tahun untuk Bupati Subang Nonaktif,Eep Hidayat.
Kedua terhukum memang masih mempunyai peluang hukum mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan tersebut, jika mereka  memiliki novum (bukti) baru.Akan tetapi Peninjauan Kembali (PK) tidak menunda pelaksanaan putusan.Masalahnya sekarang, Mahkamah agung RI dan Kejaksaan tidak perlu saling mencurigai oleh karena hal itu sangat berdampak buruk bagi penegakan hukum kedepan. Mahkamah Agung sebaiknya mempercepat minut putusan untuk selanjutnya dikirimkan ke Pengadilan, dan Pengadilan  kepada Kejaksaan untuk melaksanakannya.
Sering memang terjadi , seseorang yang dihukum oleh Mahkamah Agung tidak dapat dilaksanakan Kejaksaan karena yang bersangkutan keburu kabur ke Luar Negeri. Hal itu terjadi diduga ada oknum yang membocorkan putusan sebelum diberitahukan. Terhadap kedua perkara ini kita yakin, terhukum tidak akan melarikan diri.Kita tunggu saja kapan mereka dieksekusi.
Read more

0 EKSEKUSI PUTUSAN JAKSA DAN MA SALING MENCURIGAI?.

Jaksa selain sebagai penuntut Umum juga selaku eksekutor atas putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan tetap. Ketentuan itu tertuang  dalam Ketentuan Kitab Undang Undang Hukum acara Pidana (KUHAP) satu satunya hukum acara Pidana karya agung republik Indonesia.Pertanyaannya sekarang, putusan yang mana yang harus dijalankan Jaksa selaku pelaksana putusan hakim,apakah keputusan hukum setelah diterima secara lengkap,atau cukup dengan selembar pemberitahuan yang disebut ekstrak vonnis itu ?
Dua orang pejabat negara yang dihukum berdasarkan putusan Mahkamah agung republik Indonesia itu adalah,,Gubernur Bengkulu nonaktif,Ir Agusrin Nazamuddin,dihukum selama 4 tahun dan Bupati Subang nonaktif, Eep Hidayat, dihukum selama 5 tahun penjara. Gubernur  Bengkulu n onaktif semula dibebaskan Pengadilan tipkor Jakarta Pusat, sedangkan, Bupati Subang nonaktif,Eep Hidayat dibebaskan oleh Pengadilan tipikor Jawa Barat. Mahkamah agung menghukum keduanya karena dinilai terbukti bersalah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi.Vonnis yang dijatuhkan Mahkamah Agung itu pun telah memberitahukan keputusan tersebut kepada Pengadilan tingkat pertama yang memeriksa dan mengadilinya untuk selanjutnya disampaikan kepada Kejaksaan selaku eksekutornya.
Ketua muda Mahkamah agung  pun mempertanyakan,kenapa Jaksa belum melaksanakan putusan atas,kedua perkara tersebut. Selain mengirim pemberitahuan melalui Pengadilan yang memeriksa tingkat pertama, Mahkamah Agung juga telah mengirimkan melalui fax. Tujuannya mungkin agar Pengadilan tingkat pertama dapat dengan segera memberitahukannya kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dapat mengeksekusinya.Namun Kejaksaan Agung tampaknya belum bersedia  melaksanakan eksekusi terhadap terhukum hanya dengan ekstrak vonnis,tetapi harus menerima putusan resmi atas perkara tersebut.
Kejaksaan kini masih menunggu putusan Mahkamah Agung secara resmi tidak hanya ekstrak vonnis untuk selanjutnya dapat dilaksanakan .Sebab ekstrak vonnis dapat dianggap sebagai sekedar pemberitahuan belaka yang bukan merupakan vonnis hakim resmi sebagaimana layaknya. Dari sudut pandang hukum formal memang Kejaksaan ada benarnya.Pasalnya,Kejaksaan boleh jadi harus  hati hati melaksanakan eksekusi terhadap terhukum jika belum membaca putusan yang menghukummnya secara lengkap.Keraguan itu mungkin disebabkan adanya beberapa kasus yang pernah terungkap tentang putusan  yang diduga palsu yang pernah beredar misalnya beberapa waktu yang lalu.
SALING TIDAK PERCAYA ?
Kedua kasus diatas menarik untuk dikaji lebih mendalam,sebab selain kesan saling mencurigai juga tidaklah sepatutnya polemik itu muncul kemermukaan.Mahkamah Agung pun sesungguhnya  harus memahami posisi Kejaksaan selaku pelaksanan putusan hakim yang tidak mungkin mengeksekusi hanya dengan ekstrak vonnis.Dari sisi ini nampaknya Kejaksaan hendak menunjukkan sikap dan ketaatannya dalam hukum. Sementara Mahkamah Agung  mempertanyakan sikap Kejaksaan yang belum melaksanakan putusan itu ,karena MA merasa, ekstrak vonnis  yang dikirim selama ini sudah dilaksanakan. Berdasarkan kebiasaan itu memang wajar,  bila muncul kecurgiaan yang menyatakan ada apa sehingga ekstrak vonnis itu tidak dilaksanakan kejaksaan.
Berbagai pertanyaan pun jadi muncul pada masalah ini.Misalnya saja, ada apa Mahkamah Agung Republik Indonesia harus merasa kebakaran jenggot belum dieksekusinya kedua terhukum?.Bukankah ponnis atas kedua pejabat negara nonaktif itu baru dijatuhkan putusan, Januari 2012, yang nota bene baru berusia lebih kurang satu bulan dan masih dalam pengoreksian? Bukankah juga petikan atas keputusan tersebut masih dalam persiapan minutnya di Mahkamah Agung untuk selanjutnya dapat dikirim secara lengkap ke Pengadilan ? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang disimpulkan kalangan masyarakat, bahwa kedua Lembaga penegak hukum ini terkesan saling mencurigai.
Dari polemik tentang pelaksanaan putusan ini, seyogyanya masing masing dapat mengoreksi diri sendiri.Misalnya saja, Kejaksaan pun mestinya konsisten, tidak akan mau mengeksekusi seseorang  hanya berdasarkan ekstrak vonnis, tetapi haruslah melalui petikan keputusan resmi yang dikirimkan pengadilan Negeri .Demikian juga Mahkamah agung ,tidak memaksakan Jaksa harus mengeksekusi putusan itu hanya dengan pemberitahuan.Adalah benar, putusan itu telah dijatuhkan Hakim Agung  sebagaimana dalam pemberitahuan, tetapi hal itu adalah bersifat pemberitahuan yang tidak putusan resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang undangan yang berlaku.  
Perkara Gubernur Bengkulu nonaktif,Ir Agusrin Nazamuddin, ini memang menarik perhatian masyararakat .Sebab pembebasan dirinya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ketika itu membuat orang bertanya tanya, kenapa dapat bebas, padahal fakta faktanya jelas. Selidik punya selidik, ternyata belakangan salah satu Hakim yang memeriksa dan mengadilinya, kemudian tertangkap menerima suap dalam kasus kepailitan.Memang tidak ada bukti pembebasan Agusrin yang ditangani hakim yang ditangkap itu, tetapi dikaitkan berbagai pihak pembebasan itu beraoma tidak sedap.
Ternyata memang benar, putusan yang membebaskan,Agusrin Nazamuddin, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan tipikor Jawa Barat itu dinilai kurang tepat. Buktinya , Mahkamah Agung Republik Indonesia  ,menjatuhkan hukuman selama 4 Tahun untuk, Agusrin Nazamuddin, Gubernur Bengkulu nonaktif dan 5 tahun untuk Bupati Subang Nonaktif,Eep Hidayat.
Kedua terhukum memang masih mempunyai peluang hukum mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan tersebut, jika mereka  memiliki novum (bukti) baru.Akan tetapi Peninjauan Kembali (PK) tidak menunda pelaksanaan putusan.Masalahnya sekarang, Mahkamah agung RI dan Kejaksaan tidak perlu saling mencurigai oleh karena hal itu sangat berdampak buruk bagi penegakan hukum kedepan. Mahkamah Agung sebaiknya mempercepat minut putusan untuk selanjutnya dikirimkan ke Pengadilan, dan Pengadilan  kepada Kejaksaan untuk melaksanakannya.
Sering memang terjadi , seseorang yang dihukum oleh Mahkamah Agung tidak dapat dilaksanakan Kejaksaan karena yang bersangkutan keburu kabur ke Luar Negeri. Hal itu terjadi diduga ada oknum yang membocorkan putusan sebelum diberitahukan. Terhadap kedua perkara ini kita yakin, terhukum tidak akan melarikan diri.Kita tunggu saja kapan mereka dieksekusi.
Read more

0 EKSEKUSI PUTUSAN JAKSA DAN MA SALING MENCURIGAI?.

Read more

0 EKSEKUSI PUTUSAN JAKSA DAN MA SALING MENCURIGAI?.

Read more

1 KASUS PEMERASAN,KORBAN JADI TERSANGKA


Sudah jatuh ketimpa tangga pula,itulah pepatah yang dapat dikatakan kepada Ali Akbar dan Suratno.Ali Akbar adalah sebagai Kontraktor dan Suratno pegawai PU Batam pernah diminta keterangannya oleh Penyidik Kejaksaan setempat.Dalam pemeriksaan itu, menurut, Ali Akbar mereka diminta sejumlah dana guna menutup perkaranya.Merasa tidak bersalah ,baik Ali Akbar dan Suratno sepakat untuk n melaporkan peristiwa pemerasan  itu kepada Polisi.
Oknum Jaksa bernama Jufrizal meminta Rp 400 juta agar perkara yang diduga melakukan pidana melibatkan Ali dan Suratno dapat ditutup. Keduanya pun melakukan penawaran dan disepakati sebesar  Rp 200 juta dan  penyerahannya ditentukan di pelabuhan batam.Sebelum penyerahan, rupanya, Ali Akbar telah melaporkan hal itu kepada Polisi. Polda Kepri yang menerima laporan itu bersama sama,Ali dan Suratno ke tempat yang ditentukan untuk menyaksikan serah terima barang bukti tersebut. Memang Jaksa Jufrizal tidak langsung menerima dari Ali Akbar, tetapi Jaksa bersangkutan hadir untuk menemui,Ali Akbar, sesuai perjanjian.Kehadiran ,Jufrizal,diduga tentu hendak menerima uang yang disepakati oleh mereka, namun Jufrizal belum sempat menerima bungkusan berisi uang sebesar 200 juta tersebut.Entah karena ,Jufrizal,mendapatkan info, atau telah melihat dilapangan dan atau dekat,Ali Akbar,ada petugas atau mungkin orang lain yang dicurigainya, iapun tidak jadi menghampirinya dan ia berpaling hendak meninggalkan tempat yang ditetukan.
Ali Akbar dan Polisi yang sudah siap di TKP pun mengejar,Jufrizal,dan tertangkap,petugas dari mPolda Kepri ini pun menggiring,Jufrizal, ke Mako Polda Kepri untuk diproses selanjutnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku.Semalaman Jufrizal di Polda Kepri,konon kabarnya diminta keterangannya sebagai saksi.Korban pemerasan,Ali Akbar pun berang, kenapa hanya sebagai saksi padahal yang bersangkutan tertangkaap tangan,itulah keluhannya terhadap sikap penyidik Poda Kepri.
Satu malam ditangan  Polda Riau, Kejaksaan tinggi Riau menjemput ,Jufrizal, dari tangan penyidik alasannya untuk diperiksa  secara internal di Kejaksaan Tinggi Riau . Entah pada saat penjemputan,Jufrizal oleh Kejati, atau sebelumnya, ternyata sudah ada laporan polisi di Reskrim sus Polda Kepri.Sementara, Jufrizal diperiksa di Kejaksaan tinggi Riau, Ali Akbar dan Suratno dipanggil untuk menjalani pemeriksaan di Polda Riau.
Perkara seperti inilah yang sering menakutkan  masyarakat luas  melapor kepada Polisi.Ada banyak kasus  memang maling teriak maling, ia sebagai pelaku tetapi dia sendiri leibih awal membuat pengaduan .Ada beberapa kasus seperti itu berhasil diungkap penyidik, sebut saja, Jaenal Panitera Mahkamah Konstitusi,Seorang Ibu mengaku diperkosa di Depok, dan lain lainnya terungkap.Sebataas ini kita patut mengancungkan jempol kepada penyidik tentunya. Pertanyaannya sekarang ialah, bukankah sesungguhnya,dapat disimpulkan bahwa ternyata, telah ada kata sepakat untuk melakukan suatu transaksi antara, Jufrizal dengan Ali Akbar Cs di Pelabuhan Batam itu? Jika ternyata tidak ada masing masing kesepakatan diantara mereka, untuk apa Jufrizal dan Ali Akbar Cs hadir di tempat itu? Itulah yang perlu didalami.



Pemeriksaan keduanya perlu intensif memang,apalagi sekarang, Ali Akbar telah melaporkan Jufrizal memeraas, dan Ali Akbar, yang merasa menjadi korban pemerasan kini dilaporkan lagi oleh Jufrizal berupaya melakukan penyuapan.Dalam kasus penyuapan, Ali Akbar dan Suratno telah dipanggil Penyidik, sedangkan Jufrizal  masih berstatus sebagai saksi di Kepolisian Kepri.
Pertanyannya lagi, bukankah sesungguhnya ,Penyidik telah  menagkap langsung Jufrizal atas laporan dari,Ali Akbar? Bukankah penyidik Polri Kepri juga setelah menangkap Jufrizal sudah meminta keterangannya di hadapan penyidik? bagaimana mungkin,Ali Akbar cs dituduh berusaha untuk menyuap dan melaporkannya kepada Polisi? Apakah seorang calon penyuap hendak menyuap seseorang mebawa saksi saksi atau hendak dilakukan perbuatan melanggar hukum itu didepan banyak orang? Bukankah usaha menyuap misalnya  dilakukan dengan 4 (empat) mata? Itulah beberapa pertanyaan yang mestinya menjadi bahan penyidik.
TERTANGKAP TANGAN
Penyidik Polda Kepri sesungguhnya tidak memberikan tersangka Jufrizal kepada instansinya yakni Kejaksaan Tinggi .Alasannya oknum Jaksa yang ditangkap tersebut merupakan perkara yang tertangkap tangan yang tidak perlu meminta ijin dari Jaksa Agung untuk memeriksanya. Sebab dalam ketentuan hukum, jika tertangkap tangan maka penyidik polri sepenuhnya mempunyai kewenangan mengusut hingga menyerahkannya kepada Kejaksaan dan selanjutnya diadili sesuai ketentuan. Dengan penyerahan itu ,kini masyarakat semakin menurun kepercayaannya kepada Polisi. Akibatnya harapan peranan masyarakat untuk mengungkap suatu kasus tertentu pun kelak semakin kurang.Alasannya yaitu tadi selain mungkin juga dapat dijadikan tersangka, melalui pencemaran nama baik, fitnah dan lain sebagainya yang ditakutkan, apapun bentuk laporan itu bisa saja berbalik.
Sebagaimana telah disinggung diatas, ada memang maling teriak maling yang ternyata pelakunya mendahului laporan polisi seolah dia menjadi korban pidana tersebut.Setelah diselidiki pelaporlah sebagai pelakunya.Dalam perkara ini nampaknya atau dapat diduga telah terjadi suatu kesepakatan antara ,Al Akbar, dengan Jufrizal.Namun apapun yang terjadi ,siapa yang bersalah muaranya Pengadilanlah yang berwenang menetukan. Tetapi yang jelas, penyidik kini telah memeriksa Ali dan Suratno yang tentunya sebagai tersangka.Nah untuk kepastian hukum, maka penyidik seharusnya juga memeriksa, Jufrizal sebagi tersangka pula.


Read more

0 LPJKN YANG SAH HARUS BERTINDAK TEGAS

Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) yang dibentuk dan telah  dilantik oleh Menteri Pekerjaan Umum adalah pengurus  yang sah sesuai ketentuan perundang undangan yang berlaku. Namun meski secara sah Pengurus LPJKN yang dibentuk oleh Kementerian PU itu, ternyata Pengurus lama LPJKN melakukan Munas tersendiri dan memilih pengurusnya yang mengatas namakan dirinya sebagaiLPJKN  independen yang berkantor di Jalan Arteri Pondok Indah Kebayoran Baru Jakarta Selatan yang sebelumnya adalah Kantor LPJKN . Akibatnya beberapa kontraktor pun bingung bagaimana sesungguhnya kedua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi ini.
LPJKN bentukan kementerian Pekerjaan Umum ini sesungguhnya adalah yang sah.Sebab sebelum melakukan rekruitmen  dari unsur,Kontraktor,ahli dan lainnya dilaksanakan  Kementerian PU  terlebih dahulu  menghentikan aktifitas LPJKN lama dan memerintahkan mengakhiri anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang menjadi landasannya. Oleh karena penghentian segala aktifitas tentang rekruitmen untuk memilih dan menetapkan kepengurusan baru LPJKN telah dihentikan dan mengakhiri anggaran dasar dan rumah tangga maka, praktis LPJKN demisioner tidak dapat lagi melakukan tindakan apa apa .
Terhadap Instruksi  kementerian Pekerjaan umum tersebut, tampaknya pengurus LPJKN yang waktu itu dipimpin Malkan Amin, menyadari benar kapasitas kementerian PU untuk mengambil alih rekruitmen pengurus pengganti yang sudah habis masa jabatannya.Terbukti, dari surat LPJKN demisioner itu meminta agar diberikan kesempatan memperpanjang Sertipikat Badan Usaha (SBU) para pengusaha Jasa Kontraktor , untuk tidak mendapat kesulitan dalam mengikuti tender pada proyek pemerintah pusat maupun Daerah. Atas permohonan LPJKN lama tersebut kemeterian Pu memberikan ijin dengan waktu satu kali perpanjangan yakni satu tahun.
Dari fakta diatas sesungguhnya, pengurus LPJKN dibawah kepemimpinan Malkan Amin, itu mengaku pengambil alihan itu pun sah secara hukum. Namun entah kenapa  LPJKN yang mengatas nama dirinya sebagai LPJKN independen ini dapat melakukan Munas sekaligus menetukan pengurus baru periode berikutnya. Akibat adanya dua LPJKN ini para LPJKD  Indonesia sempat memang terpecah.Sebagian besar Daerah mendukung LPJKN independen, dan sebagian lagi kepada LPJKN di Kementerian PU.
Menteri Pekerjaan umum yang melihat gejala tidak baik ini pun bertindak tegas.Tindakan yang diulakukan ialah menerbitkan surat edaran yang menyatakan bahwa Masyarakat Jasa Kontraktor yang tidak mendapat pengesahan dari LPJKN kementerian Pekerjaan Umum tidak dapat mengikuti tender Proyek Pemerintah di seluruh Indonesia. Instruksi ini membuat para Jasa Kontraktor dan LPJKD mengikuti aturan yang ditetapkan LPJKN PU.Karenanya pembinaan dan pengembangan Jasa Konstruksi kini sepenuhnya di tangani LPJKN di Kementerian Pekerjaan umum.
Pertanyaannya sekarang , penanganan LPJKN yang diakui baik oleh pemerintah ,maupun jasa Kontraktor adalah LPJKN di Kementerian Pekerjaan Umum. Sebab selain pemilihan calon pengurusnya pun dilakukan secara demokratis, transparan, mereka yang terpilih itulah yang disahkan dan dilantik Menteri PU Agustus 2011 dan telah pula diakui oleh para Jasa kontraktor melalui pendaftarannya masing masing pada LPJKN tersebut. Kini dirasakan bahwa LPJKN yang sah ini dinilai melakukan pembiaran atas adanya LPJKN tandingan. Boleh jadi memang  LPJKN kementerian PU berpikir LPJKN yang dianggap tandingan itu mati dengan sendirinya dengan tidak adanya anggota yang mau padanya. Akan tetapi sesungguhnya tidak saja masalah keanggotaan, tetapi juga pertanggung jawaban keuangan, dan asset yang ada, sepenuhnya harus diambil dan dikuasai LPJKN yang sah.
LPJKN harus bertindak tegas untuk mengambil alih asset dan kekayaan yang selama ini dihimpun untuk kepentingan Lembaga.Sebab, kecuali biaya rutin dan honor yang telah disetujui melalui Munas dan atau rapat sebelumnya, LPJKN periode itu pun semestinya wajib untuk mempertanggung jawabkannya kepada anggota. Dengan demikian maka,apapun asset dan atau milik LPJKN sepenuhnya adalah milik anggota yang dalam hal ini harus dikelola oleh LPJKN yang diakui secara sah yaitu LPJKN yang dibentuk dan dilantik oleh Menteri Pekerjaan Umum sesuai kewenangannya.
Dengan ketegasan untuk mengambil alih seluruh asset maupun perangkat kerja yang ada di Jl arteri praktis masyarakat Jasa konstruksi Indonesia tidak ada lagi kebimbangan untuk mengembangkan dirinya dan bernaung pada siapa.Oleh karenanya, LPJKN melalui Menteri PU harus meminta penyerahan itu dari pengurus lama secara baik baik. Jika ternyata pengurus lama tersebut tidak mau menyerahkan sesuai ketentuan , LPJKN dapat menempuh jalur hukum baik Pidana mapun perdata.Sebab penguasaan harta tertentu yang  bukan haknya merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat dipidanan sesuai ketentuan yang berlaku.Bagaimana LPJKN bentukan PU akankah membiarkan masalah ini berlarut larut, tidak juga membuat tindakan tegas demi kenyamanan anggota maupun pembinaan dan pengembangan selanjutnya? Kita tunggu.

Read more
 
© BSA-LAW OFFICE | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger